Kamis, 26 Januari 2023

NGUSABA PITRA DALEM SUCI DALAM MITOS MAYADENAWA


 Mayadanawa adalah sebuah cerita yang merakyat merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mitologis. Cerita inilah yang melatar belakangi munculnya pelaksanaan ,Ngusaba Dalem Puri,Hari Raya Galungan  Kuningan dll.bagi umat Hindu di Bali.Cerita yang diceritakan secara turun temurun, tentu masing-masing daerah mempunyai versinya sendiri-sendiri ,tergantung dari kompetensi orang yang menceritakannya,tetapi secara garis besarnya memiliki kontek yang sama.Ceritanya sebagai berikut :

Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa, keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Balingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Oleh karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti.

Rakyat kalau mau sembahyang ke Besakih dihadang dan dilarang, bila ketahuan akan dipenggal, keadaan Besakih  waktu itu berupa hutan belantara , rakyat mau tangkil dengan cara sembunyi-sembunyi,berbekalkan ketupat karena perjalanannya jauh, mereka berhenti pada suatu tempat yang ada airnya untuk makan ketupat, maka tempat itu kemudian dinamakan Toya Ketipat,pasukan Mpu Kul Putih memantau kehadiran pasukan Mayadenawa dari suatu tempat melihat lihat, maka tempat itu dinamakan Peliatan sedangkan tempat pasukan Mpu Kul putih menghadang pasukan Mayadenawa selanjutnya diberi nama Pengadangan. Suatu Ketika saking takutnya masyarakat belum sampai ke Besakih maka pada suatu tmpat tinggi di tegalan melakukan persembah-yangan ngayeng,namun sangat sial pasukan Mayadenawa datang mengejar dan pemedek lari tunggang langgang sehingga kerudung sesajinya yang berupa saab tertinggal maka tempat itu kemudian diberi nama Tegal Saab, naasnya rakyat yang tak kuat lari beberapa meter keutara dapat ditangkap dan oleh pasukan Mayadenawa langsung mereka di penggal maka tempat itu dikenal dengan nama Munggal. Dimana semua tempat itu berada di wilayah Tegenan yang asal katanya dari Tegen atau pikul yang dipimpin zaman dulu oleh Ki Pasek Pikulan karena mempunyai kewajiban mikul/ mundut Ida Betara ring Besakih sebagai bagian wilayah pregunung Besakih.

Selanjutnya kehidupan rakyat semakin menderita,tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana karena dihantui oleh rasa takut dan cemas. Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan pada Tuhan. 

Kemudian diceritakan pertolongan datang dari sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang Jayantaka. Sedangkan pasukan  induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha.

Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya,  Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.  Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tirta Empul , dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan Desa Manukaya. Bhatara Indra tak bisa ditipu dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul ,kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerahitu dinamakan Desa Blusung , menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong.

Batu padas tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya men emui ajalnya. Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra, jika air sungai itu digunakan untuk  mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan ituberumur 1000 tahun.

Dengan matinya Mayadenawa dan patihnya,maka kehidupan mulai tentram dan sebagai rasa syukur atas kemenangan dharma melawan kebatilan ,rakyat merayakan dengan suka cita yang kemudian dikenal dengan nama Galungan, termasuk upacara keagamaan di Pura Besakih kembali normal dilaksanakan atas bimbingan Mpu Kul Putih. Rakyat dibimbing membuat banten,sesaji, melaksanakan puja bakti kepada leluhur,Betara-Betari kawitan,Dewa-Dewi dan Tuhan yang maha Esa/Ida Hyang Widi Waca.

Disisi lain setelah hancurnya Mayadenawa,raja Bali Sri Jaya Kasunu mendapat pawisik di Pura Dalem Puri  dulu dikenal Pura Dalem Kedewatan,adalah stana Bhatari Durga,yang memberi pewarah-warah agar sang raja melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan ngusaba Dalem Puri pada  sasih kepitu penanggal 1,3,5 nemu kajeng dan upacara lainnya untuk ketentraman jagat Bali rajya.

Dari sinilah tahun 85 caka sang raja Sri Aji Candra baya mulai berbenah menata kehidupan beragama di Bali,dimana menurut Lontar Padma Bhuana yang berstana di Pura ini(Dalem Puri) adalah Shiwa Wairocana di Dalem Puri menjadi "BHATARI PERTIWI" (ibu) yang tercipta dari Panca Brahma yang terletak di tengah Padma Bhuana sebagai aksara ING.

Kedudukan Pura Dalem Puri merupakan induknya Pura di Pulau Bali, dimana Pura Basukih (Puseh Jagat) yang disthanakan Sanghyang Antha ciwaditya BAPA AKASA dan Pura Dalem Puri yang disthanakan adalah Bhatari Pertiwi (IBU) inilah yang menjadi induk Pura di Pulau Bali.

Pura Dalem Puri posisinya di sebelah selatan Pura Penataran Agung yang fungsinya seusai ngaben, ngeroras Umat Hindu melakukan upacara mendak dan Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing.

Pura Dalem Puri merupakan stana saktinya atau kekuatan magis religiusnya dari Dewa Siwa yakni Uma Dewi atau Dewi Durgha. Karenanya pintu masuk Pura Dalem Puri ini berhadap-hadapan dengan pintu masuk Pura Penataran Agung Besakih (Siwa) yang berbentuk Candi Bentar.

Dalam Sarasamuscaya alam akherat disebut juga Para Loka yang terdiri atas Surga dan Neraka dan disinilah divisualisasikan sebagai simbol Surga neraka sekaligus simbul pengadilan roh manusia yang telah meninggal akan menuju para loka.

Selanjutnya sketsa Pura Dalem Puri di Utama Mandala  yang dibatasi tembok pembatas adalah simbol Surga,sedangkan di Madya mandala ada Pura Prajapati yang distanakan Sanghyang Yamadipati sebagai penguasa roh manusia yang menuju alam niskala atau para loka,Di sinilah pengadilan pertama roh yang telah lepas dari badan wadahnya. Bisa masuk sorga dan juga bisa masuk neraka tergantung karmanya dalam kehidupannya di bumi ini.

Sedangkan areal Nista Mandala yaitu di lapangan di luarnya disebut Tegal Penangsaran adalah simbol Neraka dan terdapat pelinggih yang juga dinamakan Pelinggih Tegal Penangsaran, dibelakang pelinggih itu terdapat pohon besar yang disebut Taru Curiga merupakan simbol pohon berbuah senjata tajam yang tumbuh di Neraka.

Di depan pintu masuk Utama Mandala Pura Dalem Puri, ada pelinggih yang disebut pelinggih Titi Gonggang dan Bale Peangenangen, Titi Gonggang adalah jembatan gantung yang tak henti bergoyang-goyang yang berada di ujung Neraka para Roh harus melewatinya usai melintasi Neraka.Sedangkan Bale Peangen-angen adalah tempat beristirahatnya para Roh sebelum diputuskan akan masuk ke Pura Dalem Puri (Surga) atau Reinkarnasi ke Bumi. Umat Hindu di Bali percaya bahwa Roh yang lebih banyak berbuat dharma ketimbanng adharma akan diterima "ngayah" atau mengabdi di Pura Dalem Puri, simbol Surga.Sedangkan roh yang berbuat adharma lebih banyak belum diterima di Pura Dalem Puri dan ditempatkan di areal Tegal Penangsaran, simbol neraka. Karena itulah setiap Usaba Dalem Puri umat berduyun duyun datang ngaturang bakti mendoakan leluhurnya agar mendapatkan tempat yang layak dan kalau bisa amor ing Acintya/menyatu dengan Brahman. Bahkan tidak cukup sampai disana bagi desa-desa pregunung,usai Ngusaba Dalem Puri 3 hari kemudian,5,11 atau 30 hari kemudian dilaksanakan Ngusaba Pitra di masing-masing Pura Dalemnya sebagai wujud syukur karena para leluhurnya usai ngayah di Dalem Puri dan sebagai ucapan terimakasih pada para Dewa khususnya Dewi Durga Parwati sebagai penguasa roh.

Khusus untuk Desa Adat Tegenan Ngusaba Pitra dilaksanakan tiga hari setelah puncak ngusaba Pura Dalem Puri dan dilaksanakan di Pura Dalem Suci oleh Desa Seket, kenapa demikian karena dulunya ketika warga Desa berjumlah 50 KK(séket),Pura Dalemnya masih di lingkungan Kuuman Dalem sebagai radius wilayah Dalem Puri, bahkan kuburanpun dekat disana. Ketika zaman Mayadenawa masyarakat hijrah keselatan membuat pemukiman desa,mulai menata lingkungan maka Pura Dalem dan kuburan dipindah keselatan yang kemudian Bernama Pura Dalem Putra ditandai dengan pemancangan 2 pohon Jepun Bali. Untuk kelengkapan kahyangan desa sebagai wilayah pemukiman desa maka dibangunlah Pura Puseh Bale Agung yang diawali dengan pembangunan 2 buah batu besar sebagai stana betara lingsir (pertama didirikan) yang diprakarsai oleh 3 warga/dadia yakni Pasek Pikulan,Pasek Glagah dan Pasek Batudinding, yang mungkin ketiga dadia ini sebagai perintis lebih awal bermukim di tempat ini,sehingga sampai sekarang ketiga dadia ini setiap upacara piodalan di Pura Puseh mempunyai kewajiban ngaturang banten pekenak di ajeng Ida Betara sebelum katuran Piodalan.Namun disisi lain menurut fakta lapangan Jero Mangku Wayan Sulandri mengatakan bahwa Dadia yang pertama datang ke Tegenan adalah Dadia Pasek Gelgel Ibu Kanginan dan Dadia Pasek Kayu Selem Puseh Kajanan yang sekarang disebut Pasek Celagi,waktu itu Tegenan atau Pikulan masih merupakan hutan belantara dan dengan kedatangan Dadia Ibu Kanginan wilayah ini dirabas dan kemudian datang penglingsir tiang dari Songan,maka tanah ini dibagi sehingga hanya dua dadia inilah yang punya ayahan dadia,dadia lain tidak ada,pungkasnya. Demikian juga Desa Karang yang merupakan awal dari desa ini,maka yang awalnya mendapat adalah kebanyakan dari dua dadia ini,dadia lain datangnya belakangan sebagai pendatang baru,tegasnya. Percaya atau tidak,itu adalah sejarah,kata Bung Karno JAS MERAH (Jangan sekali-kali lupa pada sejarah) karena dalam sejarah ada fakta dan realita yang mengandung unsur kekuatan alam. Zaman boleh berubah,tetapi keyakinan terhadap rta/hukum alam jangan sampai disingkirkan oleh kaum yang haus kemajuan tanpa adab,maju boleh jangan lupa pada jasa leluhur,karena beliaulah kita ada,sangat naif bila kacang lupa kulitnya.Astungkara rahayu.  (dirangkum dari berbagai sumber lontar dan lontar tanpa sastra)*by.manixs

  

 Pelaksanaan upacara ngusaba di Dalem Puri oleh umat hindu,(doc/manixs)

Prosesi ngelabain layuban sode adalah simbul anugrah dari  leluhur(manixs)