Sabtu, 25 September 2021

WARIGA BELOG

 

Krama Bali dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan  penting dalam kehidupannya ,selalu mencari hari yang baik yang dikenal dengan Dewasa Ayu,dengan melakukan kegiatan pada hari yang baik diharapkan kegiatan tersebut bisa berjalan lancar dan sukses berpahala yang baik.

Misalnya melakukan pernikahan, membangun rumah,membeli mobil dan kegiaan lainnya. Salah satu cara untuk mendapatkan hari baik adalah berpedoman pada Wariga yang asal katanya dari kata War-I dan Ga,war adalah “warah” artinya petunjuk,I sama dengan Indik artinya tentang ,sedangkan Ga adalah marga artinya jalan. Dengan demikian Wariga artinya petunjuk tentang jalan yang baik dalam berkegiatan,

Banyak wariga yang bisa dipedomani antara lain Wariga Krimping,Kalender,Tika,Wariga Belog dan lainnya. Nah yang akan kita bahas dalam kesempatan ini salah satunya adalah Wariga Belog yang dipublikasikan oleh Ki Dalang Bayu Edan dengan judul Mencari Hari Baik,Berdasarkan Hari Kelahiran yang bersumber dari Gria Giri Kusuma.

Petunjuk ini tidak mutlak seratus persen kebenarannya,namun sebaiknya juga menjadi pertimbangan semisal mencari di kalender,nunas dewasa dan atau mencari di sumber lainnya baru disimpulkan,karena sekarang sangat banyak sumber yang dapat dibaca terutama melalui google,media sosial dan media cetak,namun ingat kata kuncinya adalah : dina ayu wewaran alah dening pawukon,pawukon alah dening tanggal panglong,tanggal panglong alah dening sasih,sasih alah dening dauh,nanging dauh alah dening ning.Artinya apabila mencari hari baik hanya berdasarkan wewaran,itu dikalahkan dengan hari baik berdasarkan  pawukon dan pawukon dikalahkan hari baik berdasarkan tanggal panglong,demikian juga tanggal panglong dikalahkan oleh sasih,kalau sasih dikalahkan oleh waktu atau dauh,sedangkan dauh dikalahkan oleh ning.  Ning itu artinya ketulus iklasan dalam mengambil pekerjaan,justru itu yang paling menentukan hasilnya,karena itu wariga belog ini dianggap salah satu petunjuk jalan yang patut diperhitungkan sesuai sradha kita masing-masing.

 

Nah bagaimana cara mencari hari baik berdasarkan Wariga Belog ?

Dalam menentukan hari baik berdasarkan wariga ini sebenarnya sangat mudah,yaitu dengan menggabungkan urip Sapta wara dan panca Wara hari kelahiran dengan hari/dina bayun gumi(hari rencana berkegiatan) dibagi empat(4) dengan sebutan sebagai berikut :

1.      Guru hari yang sangat baik melakukan kegiatan ayu palania nilai A

2.      Ratu hari yang sedang dan bisa dilaksanakan kegiatannya tapi biasa saja nilai B

3.      Lara hari yang kurang baik untuk berkegiatan. Nilai C

4.      Pati hari yang sangat jelek dan berbahaya nilai D

 

Catatan :

Urip Sapta Wara :                                                       Urip Panca Wara :

1.Redite/Minggu (5)                                                    1.Umanis (5)

2.Soma/Senin (4)                                                        2.Pahing (9)

3.Anggara/Selasa (3)                                                  3.Pon (7)

4.Buda/Rabu (7)                                                          4.Wage (4)

5.Wraspati/Kamis (8)                                                 5.Klion (8)

6.Sukra/Jumat (6)

7.Saniscara/Sabtu (9)

 

Contoh : Gde Robet lahir Buda Umanis Medangsia akan berkegiatan hari Soma Pon Gumbreg

               apakah baik ?,mari kita coba cari hasilnya.

               Urip hari kelahiran Gde Robet Buda (7)+Umanis(5)  = 12

               Hari rencana kegiatan               Soma(4)+Pon(7)        = 11 +

                                                                                  Jumlah      = 23 dibagi 4 dapat 5 sisa 3.

               Urutan ke 3 artinya LARA kurang baik untuk melaksanakan kegiatan.

               Gampang kan ?  silahkan dicoba !!!

Demikian uraian singkat tentang Wariga Belog semoga ada manfaatnya (manix,25092021)

Jumat, 17 September 2021

ADA APA DENGAN YADNYA SESA ?

   

Kehidupan ritualitas krama Bali,memang beraneka rupa ,semuanya sebagai wujud syukur atas berkah yang dilimpahkan “Ia Yang Maha Kuasa”,yang pelaksanaannya dilakukan baik dalam keseharian, mingguan, bulanan, enam bulanan maupun tahunan.

Salah satu ritual harian adalah kegiatan setelah selesai memasak dan sebelum sarapan/makan dipagi hari disebut mesaiban/ngejot atau yadnya sesa,karena dalam sastra suci Bhagawadgita disebutkan “barang siapa yang makan sebelum mempersembahkan kepadaKu(Tuhan),maka sesungguhnya ia adalah pemakan dosa”,karena itulah me-yadnya sesa sebelum makan wajib hukumnya. Disamping itu dalam  Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan yadnya sesa.

Apa bentuk persembahan itu ?, seshungguhnya sangatlah sederhana,karena kuncinya apa yang kita masak dan yang akan kita makan itulah yang kita persembahkan terlebih dahulu. Begitu selesai masak,ambil nasi,lauk dan garam seadanya. Ambil wadah (nare,nyiru atau sejenisnya) kemudian ambil daun pisang dipotong 5x5cm dan buat anak rantau bisa menggunakan kertas yang bersih , kalau memang sulit mencari daun pisang ,kemudian diatas daun pisang/kertas itu, diisi nasi dan lauk kemudian taburkan garam,ambil sepasang canang dan dupa serta air segelas sukla.

Selanjutnya, dimana sepatutnya kita melaksanakan ritual itu ? dan mengapa semestinya ditempat itu kita melaksanakan ritual itu ?

Tempat pelaksanaan yadnya sesa atau ngejot menurut kitab Manu Smerti adalah di

lima tempat penting me-yadnya sesa.antara lain :

1.     Ditempat pembunuhan tidak sengaja yaitu di lesung,sangihan,sapu ,ditujukan kepada Sanghyang Sri Suda Bumi.

2.     Di tempat makan diatas meja atau diatas tempat penyimpan makanan kepada Sanghyang Sudewi.

3.     Ditempat masak/tungku/kompor ditujukan kepada Sanghyang Maya Gati

4.     Ditempat penyaringan/kuskusan /penyantokan/pisau/talenan dan sejenisnya ditujukan kepada Sanghyang Tenggeng Jati.

5.     Di Merajan/Plangkiran/laci tempat jualan kepada Sanghyang Puspa Dewi.

Sedangkan menurut kitab Menawa Dharma Sastra ada lima tempat juga untuk melakukan Yadnya Sesa sebagai unsur Panca Maha Bhuta antara lain di Merajan/Plangkiran sebagai unsur Akasa ,jalikan sebagai unsur Teja,Jeding pawon sebagai unsur Apah,Lesung dan Sangian/Sampat sebagai unsur Pertiwi,Tempat Makan sebagai unsur Bayu.

Pada initinya di tempat-tempat itu kita melakukan pembantaian atau pembu-nuhan sehingga wajib melakukan penyupatan sekaligus permohonan maaf,juga mengucapkan syukur atas limpahan anugrahNya. Misalnya  kita ngejot  di tempat sapu,karena dengan menyapu banyak kumatat-kumitit seperti semut,cacing,lalat, ulat dan sejenisnya dengan tidak sengaja kita bunuh,demikian juga pada pisau ,talenan dan kompor atau tungku kita pakai mengolah sayur,daging semua itu awalnya adalah makluk hidup yang bernyawa kita binasakan baik untuk kita makan maupun untuk yadnya,patut kita supat. Sedangkan ditempat makan/ penyimpanan makanan dan di Merajan/plangkiran itu wujud rasa terimakasih dan syukur kita pada Sang Pencipta pemilik semesta ini.

Doa-doa dalam kita melakukan Yadnya Sesa :

 

Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata (ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:

OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.

Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.

 

Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:

OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA, KALA, DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.

Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.

 

Atau bisa juga dengan atur pada yang ditujukan kepada Sanghyang-Sanghyang yang disebutkan diatas tadi.

 

Kesimpulannya dengan tahu bersyukur dan berterimakasih kita kepada Tuhan melalui ritual Yadnya Sesa,maka makanan yang kita nikmati akan berkah dan menjadi makanan yang halal tidak berdosa kita makan,sekaligus menjadi makanan yang sehat dan bermanfaat bagi tubuh kita Sang Bhuana Alit ini.

          Demikian uraian ini semoga ada manfaatnya,terimakasih.(manixs,gianyar auto 2000/10.43/18092021/sabtu)

Sabtu, 11 September 2021

TUMPEK LANDEP DI ERA MELLINEAL

Bali adalah sebuah pulau dengan penduduknya dominan beragama hindu,dengan ciri khas budaya yang kaya akan pilosofinya dan berpadu dalam ritual keagamaan,sehingga dalam kontek pelaksa-naan ajaran agam Hindu Bali adalah perpaduan anatara agama,adat dan budaya terbalut menjadi satu dalam sebuah relegi.

Sesuai konsep dasar dalam ajaran hindu yang berupa Tattwa,Susila dan Upacara/retuil yang dilandasi dengan Tri Hita Karana yakni tiga unsur penyebab kebahagiaan yaitu bagaimana kita sujud bakti pada Sang Pencipta(Parhyangan),bagaimana kita berinteraksi antara manusia sebagai makluk sosial(Pawongan) dan bagaimana kita berprilaku terhadap lingkungan(Palemahan),bila ketiga unsur itu terjalin keselarasan maka kebahagiaan itu akan bias terwujudkan,baik dunia maupun akhirat, moksartam jagatita ya ca itti dharma.

Dalam hal implemantasi Parhyangan banyak ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali,salah satunya adalah perayaan Tumpek Landep,yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan ranah kehidupan, termasuk pada masa mellineum ini,yang serba digital dan semakin canggih,memang agama kita adalah agama yang flexible menyelaraskan sesuai dengan perkembangan masa,dimana manusia hidup dan berakselerasi,demikian pula dengan pelaksanaan Tumpek Landep.

 

Tumpek Landep,berasal dari kata Tumpek dan Landep. Tumpek dalam Kamus Jawa Kuno disebutkan berasal dari kata “tampa” artinya turun,kemudian mendapat sisipan”um” menjadi kata “tumampa”, kemudian mengalami perubahan konsonan menjadi “tumampek” yang kata dasarnya “tampek” artinya dekat. Sedangkan kata “landep” identik dengan kata lancip atau tajam,dalam hidup ini apa yang perlu ditajamkan ? tiada lain adalah Citta,Budhi dan Manah. Dengan demikian Tumpek Landep itu mengandung makna menajamkan Citta,Budhi dan Manah atau pikiran sehingga mampu mendekatkan wahyu Tuhan sehingga kita memiliki wiweka dalam hidup ini.

Disamping itu ada juga berpendapat bahwa Tumpek itu berasal dari kata Metu(bertemu) dan Mpek (akhir),maksudnya adalah pertemuan hari terakhir antara Panca Wara(Klion) dengan Sapta Wara (Sabtu) sehingga bertemu Sabtu Klion yang disebut Tumpek.

 

Pada awalnya yang diupacarai dalam hari raya Tumpek Landep ini adalah perabotan atau senjata-senjata yang tajam(landep) seperti keris,tombak,pedang dan sebagainya,utamanya alat-alat perang agar mempunyai tuah yang hebat,seperti keris mpu gandring,dll. Jadi initinya simbolis perayaan ini adalah upacara “keris” kalau kita perhatikan mempunyai tiga kekuatan mahis yaitu:

1.      Rai disebelah kanan adalah adalah simbul kekuatan Hyang Brahma yang disebut sakti atau sakta artinya apa yang dimaksudkan/dipikirkan ada/terwujud.

2.      Rai disisi kiri adalah kekuatan Hyang Wisnu yang disebut Sidhi/sida yang mengandung arti kebersihan

3.      Ujung keris mengandung simbul kekuatan Hyang Siwa disebut mandhi/mandha yang berarti mengalir.

Dengan demikian keris itu melambangkan ketajaman citta,bhudi dan manah yang bersih (sidhi)bisa membedakan baik buruk,sehingga bisa mengalirkan energy yang positif (mandhi) untuk mewujudkan apa yang dikehendaki bisa terwujud(sakthi) melalui segala bentuk anugrah dari Sang Hyang Widhi kedunia yang selalu bersifat “Wahya” dan “Diatmika”, agar tetap terjaganya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara dunia dan akherat/sekala niskala.

Disamping itu senjata keris juga merupakan budaya hindu yang mengandung nilai – nilai tattwa yang tinggi dan sakral, antara lain ketika ada upacara mendem pedagingan ,keris juga ambil bagian sebagai salah satu sarananya, ketika upacara ngenteg linggih dalam prosesi nuek bagia pula kerti juga menggunakan senjata keris,upacara manusa yadnya perkawinan dalam nebek/nues tikeh dadakan juga menggunakan keris,upacara ilen-ilen ngurek/narat  sarananya juga keris,senjata jaga baya/pecalang juga keris dan masih banyak lagi kegunaan keris.

Dalam pelaksanaan upacara tumpek landep yang dipuja adalah Dewa Pasupati,kata Pasupati berasal dari kata “Pasu/sato/sattwa/inti artinya kebenaran” dan “Pati artinya sumber” jadi  kata pasupati berarti “kekuatan yang timbul, tetap bersumber pada kebenaran”.

Namun kenyataannya dizaman mellineal sekarang banyak diantara kita dikalangan umat hindu tidak memiliki warisan keris dan atau melestarikan keris,sehingga pelaksanaan upacara tumpek landep identik dengan “otonan kendaraan,baik sepeda motor,mobil dan lat-alat yang terbuat dari besi atau logam”, nah salahkah itu karena melenceng dari tujuan awalnya ? jawabannya saya yakin tidak,karena semua sudah melaksanakan demikian adanya, dan kita tahu agama kita pleksibel ,membuat suatu perubahan sesuai dengan situasi kondisi dan kesepakatan bersama dan diikuti secara bersama,kalau tooh dibilang salah,kenapa banyak orang yang melaksanakan ?. semua itu pada intinya sebagai wujud syukur  atas anugrah Tuhan ,kita bisa memiliki kendaraan untuk kesejahtraan kita,ketika digunakan agar selamat tidak membahayakan karena mendapat perlindungan dari Tuhan. Sesungguhnya yang perlu diperhatikan adalah konsep dasar Agama kita yang ke dua yaitu etika atau susila dalam pelaksanaannya. Janganlah dalam tumpek landep itu memajang banten didepan kendaraan,seolah-olah kita memuja mobil,nanti orang bilang musrik segala macam,memang Tuhan ada dimana-mana,cuman etikanya kurang pas. Kalau memang ingin di mobil,buatlah plangkiran di garase mobil dan disana distanakan Sang Hyang Pasupati dan Sang Hyang Ulang Alu(dewanya sopir),jadi etislah kita sembahyang di plangkiran,dibawahnya beralaskan meja dengan lapis kain taruhlah sesajen,pemangku nganteb,yang punya di belakang pemangku kemudian dibelakang/disamping kita baru kendaraan,cukup dipresista dengan ayaban banten sekemampuan kita,dengan terlebih dahulu nunas tirta pasupati di merajan/pura yang sesuai,pemujaan,sembahyang baru ayaban kendaraan.Demikian semoga ada manfaatnya.(manixs)