Selasa, 23 Januari 2024

PERKAWINAN MENURUT HUKUM HINDU

A.Pengertian tentang Hukum Hindu.  (Jeromangku_sudiada@yahoo.com)


Hukum adalah kaidah (aturan) yang telah ditetapkan oleh agama yg diyakininya khususnya dalam hal ini adalah agama Hindu karena kontekstualnya kita akan membicarakan Hindu, sesuai dengan judul diatas.
Hukum ini mutlak harus dipatuhi, sebagai panduan didalam mengatur tata hidup, baik dalam kehidupan individu, keluarga dan masysrakat pada umumnya.         
Menurut agama hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai rujukan dalam usaha mencari penyelesai-an permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan konteks-nya.
Adapun sumber sumber hukum menurut hindu ada yg tertulis maupun yg tidak tertulis, Hukum hukum hindu yang tertulis sering disebut dengan sastra dresta yg banyak sekali sastra – sastra hindu yg mengatur tentang hal ini, salah satu contoh adalah Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya).  
Ingat Hukum adalah merupakan product jaman, sudah pasti hukum itu akan menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang (hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu relevant sepanjang zaman.  

 


B. Pengertian Pawiwahan


          Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:       

a.     Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

b.    Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).

c.     Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).

d.    Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).

e.     Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).

f.      Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.

 

C. Tujuan perkawinan/Pawiwahan menurut Hindu.


           Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.      
           Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:      
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).  
            Menurut I Made Titib dalam makalah “Menum-buhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:   

a.     Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña ,sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.    

b.    Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).

c.     Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.

 

          Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:    
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”  
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.

“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram” 
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).         
          Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:        
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”     
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
          Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
          Perkawinan menurut hindu sangat dimuliakan, karena dalam setiap perkawinan dipandang sebagai suatu jalan untuk melepaskan derita orangtuanya, (leluhurnya) diwaktu mereka telah meninggal. Karena itu perkawinan dan dilahirkannya anak (suputra) merupakan perintah agama yang dimuliakan. Dengan dilahirkan nya anak dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan pelaksanaan perkawinan adalah dharma ( kewajiban ) hal ini ditegaskan dalam menawa dharma sastra sebagai berikut.      

Ø  Untuk menjadikan Ibu, maka wanita diciptakannya menjadi IBU dan pria diciptakannya menjadi BAPAK, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh dharma yang harus dilakukan oleh wanita – Pria sebagai pasangan suami istri.

Ø  Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini dianggap hukum yang tertinggi sebagai pasangan suami istri.
( Weda Smrti IX.101)

Ø  Hendaknya laki laki dan perempuan yang terikat dalam tali perkawinan mengusahakan untuk tidak jemu jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yg lainnya.
( Weda Smrti IX.101 )       

 

          Berdasarkan kutipan sloka tersebut diatas jelaslah behwa perkawinan menurut hukum agama Hindu adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam seumur hidupnya. Keluarga (rumah tangga) bukan semata mata tempat berkumpulnya laki laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dalam suatu rumah, namun sesungguhnya terbinanya suatu kepribadian, ketentraman lahir dan bhatin, hidup rukun, damai dalam upaya menurunkan tunas muda (suputra / suputri).

 

 

 

 

 

 



D. Perkawinan menurut UU No 1 tahun 1974

 

          Dalam bab I pasal 1.menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal 2 menyebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing masing, hukum agamanya dan keper-cayaannya itu.        
          Berumah tangga dalam masyarakat Hindu dipersepsikan kedalam Tri Hita Karana, yaitu keselarasan (keharmonisan) hubungan yang menyebabkan kebahagiaan yang meliputti keserasian hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), keserasian hubungan antara manusia dengan manusia (Pawongan) dan keserasian hubungan manusia dengan alam semesta lingkungan (Palemahan) dengan demikian konsep rumah tangga menurut Hindu mengajarkan hubungan yang seimbang diantara tiga sumber kesejahteraan dan kedamaian ini.

          Diharapkan keluarga Hindu selalu berusaha menjaga keharmonisan hubungan diantara ketiga unsur tersebut.
Kehidupan rumahtangga merupakan awal dari bersatunya dua jiwa (dua Pribadi) antara seorang pria dan wanita yang disahkan dengan melakukan wiwaha samskara (Upacara pernikahan-yang disimbulkan dalam sesayut SADAMPATI) Masa berumah tangga menurut ajaran Hindu, disebut Grehasta, yaitu tahapan kehidupan yang ke II dalam ajaran catur asrama dimana dalam tujuan hidupnya diprioritaskan untuk mendapatkan Harta dalam memenuhi kama yang dilandasi dengan dharma. Kama adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan kama jangan sampai memperbudak sang diri, namun kama kiranya harus diken-dalikan sehingga menjadi wahana untuk mencapai tujuan.


E. Legalitas Perkawinan menurut hukum Hindu.


          Banyak macam prkawinan yang kita dengar, adapun macam macam perkawinan yang dimaksud itu sebenarnya tergantung dari tata-cara bagaimana sampai menjadi perka-winan itu sendiri, secara umum perkawinan itu bisa dibedakan menjadi 3 yaitu :       

a.     Monogami : Seorang pria beristrikan seorang wanita.

b.    Polygamy : Seorang pria beristrikan lebih dari satu orang wanita.

c.     Polyandri : Seorang Wanita bersuamikan lebih dari satu suami

          Didalam manu-smerti lebih jauh memaparkan kedalam bentuk perkawinan yang dibagi kedalam dua golongan yaitu :

a.     Golongan perkawinan yang dibenarkan dan dianjur-kan menurut hindu adalah :      

Ø  Brahma Wiwaha adalah Suatu cara yg terhormat yang dilakukan oleh keluarga pihak wanita, yang mengawinkan anaknya dengan seorang peria yg berpendidikan dan berbudi luhur, Pemberian ini bukan merupakan suatu paksaan namun adalah suatu kewajiban yg dirasakan oleh orang tua mempelai wanita.   
Cara ini adalah merupakan perkawinan yg paling terhormat menurut system perkawinan hindu, dengan cara anak perempuan yg dihiasi sedemikian rupa, kemudian diserahkan kepada pemuda, beserta keluarga yang datang untuk perkawinan tersebut.

Ø  Prajapatya Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.

Ø  Daiwa Wiwaha adalah perkawinan dengan cara pihak laki-laki menerima gadis dari keluarga perempuan sebagai pemberian atas jasa atau tindakan yang dikerjakan oleh pihak Pemuda. Biasanya pemberian ini diberikan kepada pendeta, yg membantu menyelesaikan upacara dirumah keluarga wanita, karena ini sebagai pemberian yg terhormat, maka menurut hukum Hindu tidak melarang cara wiwaha ini.

Ø  Gandarwa Wiwaha adalah bentuk wiwaha yang dilandasi atas dasar cinta, dimana calon pasangan suami lan istri berhubungan secara langsung, dan kedua pihak orang tuanya sepertinya tidak tau menau (meskipun mungkin mengetahuinya).
Contoh ini amat banyak dijumpai di Bali, yaitu dalam bentuk NGEROROD, atau seperti yang dilakukan dalam kisah mahabrata. SAKUNTALA & Raja DUSYANTA.

Ø  Arsha Wiwaha Adalah suatu wiwaha karana adanya hubungan timbal balik dari kedua belah pihak, dimana keluarga wanita melepaskan anaknya untuk kawin dengan pemuda idaman dan dari pemuda memberikan penghargaan sepasang lembu sebagai kewajiban dalam dharma untuk meminang seorang gadis, dalam hal ini tidak ada unsur jual beli atau barter, hal ini diterima atas dasar kesepahaman dari kedua belah pihak.
         

b.    Golongan perkawinan yg tidak dibenarkan dan harus dihindari adalah:

Ø  Asura Wiwaha adalah pernikahan dengan pria memberikan mas kawin sesuai kemampuannya dan oleh keinginannya sendiri alias tidak ada paksaan.

Ø  Paisaca Wiwaha adalah bentuk perkawinan de-ngan cara paksaan dan kekerasan, melalui obat bius, penenang memberikan minuman yang memabukan, atau dengan cara licik, kemudian gadis diperkosa sedemikian rupa, sehingga terjadilah senggama diluar kesdarannya, hal ini juga dikatakan perkawinan yang dilarang.

Ø  Raksasa Wiwaha     adalah suatu bentuk perkawi-nan yg dilakukan dg cara memaksa si wanita oleh pihak pemuda itu, walaupun perempuan itu menangis lantaran tidak setuju, dan bahkan terjadi perkelahian antara kedua belah pihak hingga terjadi kekerasan pisik, bentuk perkawinan ini dikatakan MLEGANDANG.karena sifatnya memaksa maka bentuk perkawinan semacam ini adalah yg dilarang.         

c.     Dalam implementasi wiwaha/perkawinan  adat Bali /A-gama Hindu,ada beberapa jenis pelaksanaanya al.:

Ø  Memadik/meminang adalah bentuk perkawinan yang banyak dilaksanakan di era sekarang,dalam pelaksanaannya didasari atas cinta sama cinta dan setuju sama setuju diantara keluarga kedua belah pihak. Mulai dari perencanaan akad nikah, upacara pernikahan disaksikan oleh Tri Upasaksi (Bhuta Saksi,Manusa Saksi dan Dewa Saksi yaitu upacara dipamitkan oleh mempelai dan orang tuannya di merejan perempuan/mepamit /mohon restu secara niskala),semua itu disepakati kedua belah pihak dan tidak ada yang dikecewakan.

Ø  Ngerorod/Merangkat adalah perkawinan yang dilandasi cinta tetapi tidak mendapat restu orangtua dan atau untuk menutupi gengsi atas status sorohnya yang merasa tinggi,sehingga penyelesaiannya minta bantuan mediasi oleh klian Banjar dan atau perbekel(diselesaikan secara dinas biasanya)

Ø  Nyentana adalah perkawinan statusnya terbalik, dimana laki-laki diambil oleh perempuannya,se-hingga pihak perempuanlah yang berstatus sebagai purusa sedangkan yang pengantin laki berstatus sebagai predana.

Ø  Kawin Pada Gelahang,model perkawinan ini dicetuskan oleh Prof.Dr.P.Windia,sebagai salah satu solusi perkawinan apabila kedua belah pihak ngotot mempertahankan anaknya,misal hanya satu punya anak perempuan dan laki-lakinya juga begitu,shingga kedua pihak bersikukuh maka untuk damainya dicari jalan tengah sama sama berhak. Persoalannya akan muncul ketika sudah punya keturunan,karena ada dua klen/soroh,maka anak ini akan mengikuti kawitan ayah atau ibunya. Nah inilah kesulitannya.

          Demikianlah beberpa bentuk perkawianan yang dilegalkan menurut ajaran agama hindu maupun yang dilarang dan bertentangan agama hindu, yang mana dibutuhkan kearifan didalam kita menelaahnya.


F.Sah dan Syarat Pawiwahan.


         Sistem perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil.        

1.    Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbu-nyi;“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.      

2.    Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi

3.    Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).

4.    Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:      

Ø  Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah.

Ø  Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:         
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicis-yate, Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernya-taan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141). 

Ø  Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.      

Ø  Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).      

Ø  Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

Ø  Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani(bagi yang beda agama), surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.

          Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:        
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadir-dwijanmanam, Karyah carira samskarah pawa-nah pretya ceha ca” 
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:   
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”  
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).   
          Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:  

1)    Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

2)    Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3)    Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4)    Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5)    Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6)    Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.

7)    Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8)    Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9)    Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan sekedarnya dan menerima tamu dengan ramah tamah.

10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

 

G. Grehastha (Hidup Berumah Tangga)

 

          Perkawinan atau berumah tangga adalah tahapan yang kedua dalam ajaran catur asrama yang diawali oleh kehidupan brahmacari, yaitu jenjang kehidupan dalam kurun waktu menuntut ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan dharma sebagai pegangan dalam kehidupannya. Menjaga kode etik yang telah digariskan dalam hukum agama hindu serta memegang teguh sesananing ASEWALA GURU.(masa belajar). Apabila telah selesai menuntut ilmu dan dirasa cukup dalam ngrangsukawruh yg ditandai dengan upacara samawartama (semacam wisuda). Apabila siswa tersebut tidak berumah tangga selamanya, untuk mengabdikan dirinya sebagai pelayan tuhan dan pelayan umat atas panggilan nuraninya tidak kawin maka sisya tersebut melakukan kehidupan sukla barhmacarya.      
          Namun apabila melaksanakan wiwaha serta berumah tangga cukup hanya sekali dalam hidupnya,hal ini harus dipikirkan matang-matang untuk membangun pondasi rumah tangga yang kuat. Maka perkawinan tidak semata-mata dilandasi cinta oleh pengantin saja, namun penyatuan dua keluarga yang berbeda,baik sifat,karatkter,tradisi adat dan budayanya. Disinilah perlu pemahaman dan saling pengertian dan saling menghargai kedua pihak sehingga harapan membentuk keluarga sukinah bawantu bisa terwujud.

          Kita harus sadari dan sadar sesadar-sadarnya bahwa peradaban zaman terus berubah seiring waktu,maka adat tradisi budayapun pasti berubah,makanya kita harus menyadari,jangan apriori terhadap perubahan,kalau sudah zaman menghendaki,sebagai contoh remaja dulu mau nikah tidak ada acara prawedding, tukar cincin,sekarang itu terjadi,mau apa lagi yang penting kita tidak jauh merubah tatanan adat,pada prinsipnya proses perkawinan dan saksi saksi tidak menyimpang dari ketentuan.(Manixs)

Kamis, 18 Januari 2024

TRADISI PAWIWAHAN DI DESA ADAT TEGENAN

A.Rasional.

Desa Adat Tegenan yang berada di Kawasan Pura Agung Besakih adalah salah satu Desa Pregunung yaitu desa yang mempunyai tanggungjawab moral dalam prosesi upacara di pura kahyangan jagat terbesar di Bali itu,seperti kewajiban niskala ngiring dan mundut Ida Bhatara dalam kegiatan melasti yang dibagai sesuai warisan tradisi leluhur,kalau di Desa Karang Tegenan mendapat tugas mundut Ida Bhetara Dalem Puri,Batusesa bertugas mundut Ida Bhetara Lingsir dan demikian juga dengan desa pregunung lainnya. Sehubungan dengan swadarma tersebut,maka setiap aspek religius upacara yadnya selalu dihubungkan dengan kesucian dan kesusilaan prilaku beryadnya,seperti misalnya upacara pitra yadnya di pregunung Tegenan dan desa pregunung lainnya tidak diperkenankan membakar mayat,yang dilakukan adalah mengubur mayat,karena kalau membakar maka asapnya akan membuat cemer/kotor/sebel  area suci Pura Agung Besakih. Demikian pula dengan upacara yadnya lainnya tetep melakukan etika sesana berhubungan dengan tradisi kesucian Pura Agung Besakih seperti piodalan di Pura pantang dilaksanakan bersamaan dengan upacara/ karya di Pura Agung Besakih utamanya Purnama Kedasa. Upacara yadnya lainnya seperti manusa yadnya perkawinan juga tetap menjaga kesucian agar tidak kesebelan atau cemer sehingga prosesi pelaksanaan wiwaha terutama ketika ada krama yang kawin keluar sebagai pihak predana wajib memperhatikan sesana atau etika ini,yang pada intinya untuk kerahayuan pertisentana kedepannya.

Melaksanakan wiwaha atau perkawinan bagi umat Hindu memiliki makna yang sangat penting,dalam Catur Asrama, wiwaha termasuk fase Grehasta Asrama. Memasuki fase Grehastha "wiwaha" merupakan fase yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra; bahwa wiwaha bersifat sakral, wajib hukumnya, dalam arti harus dilakukan oleh setiap orang yang hidupnya normal. Melaksanakan wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini. 

Perkawinan atau wiwaha tidak baik jika dilakukan karena dipaksakan, pengaruh orang lain, dan sikap kekerasan yang lainnya. Hal ini perlu dipahami dan dipedomani untuk menghindari terjadinya ketegangan setelah menjalani Grehasta Asrama. Wiwaha hendaknya dilandasi oleh rasa kasih dan sayang,saling mencintai, saling mempercayai, saling menyadari, kerja sama, saling mengisi, bahu-membahu dan yang lainnya dalam setiap kegiatan rumah tangga.Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban,  hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang sesuai swadharmanya ,suami sebagai kepala keluarga sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga.

Menurut ajaran agama Hindu, perkawinan itu adalah “yajna” sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju Grehastha Asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya. Pada masa Grehastha inilah seseorang dihadapkan pada tiga usaha yang harus dilaksanakan, yaitu memenuhi hal-hal berikut.

  1. Dharma yaitu aturan-aturan yang harus ditaati dengan kesadaran berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara.
  2. Artha yaitu segala kebutuhan rumah tangga berupa material dan pengetahuan yang harus terpenuhi.
  3. Kama yaitu rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga. Setiap keluarga Hindu harus mampu hidup dalam kesadaran, sujud kepada TuhanYang Maha Esa/Ida Sang Yang Widhi Wasa, bebas dari kegelapan, selalu giat  bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tenteram, harmonis, dan damai serta abadi, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:151).


B.Pengertian Perkawinan 

1.   Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ,yang disempurna-kan dengan perubahan menjadi Undang Undang No. 16 tahun 2019, pasal 1 menjelaskan, bahwa: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) baru yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:149).    

2.     Pawiwahan menurut Hindu adalah upacara yang sakral dimana seorang laki-laki dan perempuan mengikatkan diri secara lahir bathin sebagai suami istri untuk membangun rumah tangga yang harmonis melalui suatu upacara pembersihan secara sekala dan niskala.

Menurut definisi tersebut, perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang (pria dan wanita) secara lahir maupun batin. Mereka berkumpul dengan membentuk rumah tangga yang baru dan bahagia. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mengutamakan dan mempunyai unsur jasmani semata tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi kebutuhan seksnya, tetapi lebih dari itu. Perkawinan atau wiwaha identik dengan upacara yajna, yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tak terpisah dengan hukum agama, dan menjadikan hukum Hindu sebagai dasar persyaratan. Legalnya suatu perkawinan “di Bali” ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha seperti upacara byakala atau mabyakaonan.


C.   JENIS PERKAWINAN DAN TATA CARA PELAKSANAANNYA  

       DI DESA ADAT TEGENAN.   

Perkawinan atau pernikahan yang umum dilaksanakan di Desa Adat Tegenan adalah sebagai berikut:

1.Memadik/Meminang.

Jenis pernikahan ini yang paling umum dilakukan dewasa ini,karena didasari oleh restu kedua belah pihak baik purusa maupun predana sama-sama suka atau pada arsa,maka disebut dengan perkawinan arsa wiwaha.

Rangkaian perkawinan ini diawali dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a.    ~.  Mesedek /Mererasan/Mekruna

      Mesedek adalah acara keluarga inti,Dimana keluarga purusa (ayah,ibu,kakak,adik,misan calon mempelai laki laki) berkunjung ke rumah calon mempelai Wanita,menyatakan maksudnya untuk rencana meminang anak gadisnya,dengan terlebih dahulu tentunya calon mempelai laki laki sudah menyampaikan maksudnya kepada calon mertuanya.terlebih dahulu. Pada acara ini hanya sebatas keluarga initi,dengan membawa sekedar oleh-oleh kepada pihak purusa sebagai dasar   pembicaraan. Yang dibahas rencana berikut-nya kapan dilaksanakan sehingga bersepakat untuk kelancaran acara berikutnya yakni Darma Suaka. Karena sudah ada kesepakatan,maka agar acara berikutnya lancar dilanjutkan acara secara niskala matur piuning mohon restu ring Bhetara Kawitan dan atau Ibu kawitan,Hyang Dewa,kahyangan tiga dan atau kahyangan lainnya yang dianggap penting,namun bisa juga dilakukan pada saat acara mepamit,tergantung dadia masing-masing. Calon mempelai Wanita Bersama keluarganya matur piuning 3 hari atau 1 hari sebelum acara puncak,karena apabila setelah itu si wanita sudah masuk masa kesebelan karen akan fokus pada persiapan perkawinannya.

b.     ~.Darma Suaka.

Pelaksanaan acara darma suaka lebih luas lingkupnya,karena dihadiri oleh prejuru dadia,keluarga besar dadia pihak predana,juga pihak purusa. Dalam acara ini kelengkapan yang dibawa adalah banten pejati untuk matur piuning di betara guru dan 1 lagi ditempat acara dilengkapi dengan canang pengraos. Agendanya setelah usai disuguhi minuman penyanggra dengan basa basi   dan perkenalan, maka acara resmi pedarma suakaan dimulai dengan pemangku yang ditunjuk tuan rumah mulai ngaturang/ngantebang banten pejati,setelah itu baru kemudian juru bicara tuan rumah(predana) nyapa pinaka penyanggra,intinya menyampaikan informasi pesedek yang sudah dilakukan sebelumnya dan meminta pertegas tujuan kehadirannya. Setelah pihak purusa memaparkan tujuan dan Langkah langkahnya,maka pihak predana menanyakan pada anaknya agar mempertegas dihadapan saksi keluarga besar akan kesediaanya menerima pinangan.

Setelah jelas kesediaan calon mempelai Wanita dan laki laki sepakat kejenjang grehasta asrama,maka orang tua/keluarga kedua belah pihak memberi wejangan tatacara dan Langkah menghadapi jenjang grehasta asrama/wiwaha ,kemudian klian dadia atau prejuru memberikan kesaksian dan restu atas rencana pernikahan tersebut mereka berdua,karena sudah direstui oleh kedua belah pihak,serta mengharapkan bisa mewujudkan keluarga sukinah sukam bawantu memiliki anak yang suputra. Pada saat itu mempelai Wanita bisa diajak langsung ke mempelai laki-laki,kalau tidak diambil,maka pada acara puncak,pagi harinya diambil untuk melaksanakan pekala-kalaan/merebu (Bhuta Saksi), tergantung pihak purusa.

 

c.   ~.   Wiwaha Samskara (pengesahan perkawinan oleh Manusa Saksi)

 

Tahapan pawiwahan ini adalah tahapan puncak,dimana setelah melaksanakan upacara mebyekaon,pekala-kalaan,kedua mempelai kembali kerumah bajang/Perempuan untuk melaksanakan Wiwaha Samskara yaitu penyelesaian upacara wiwaha dengan saksi dari pihak Klian Banjar Adat,Bendesa dan Klian Banjar Dinas secara kedinasan dari pihak Pursa dan Predana. Tahapannya,setelah mempelai mesayut di lebuh ,lanjut berkumpul ditempat yang sudah disediakan ,Bersama orang tua,klian dadia dan saksi-saksi bersilaturahmi menikmati suguhan yang dihidangkan oleh pihak predana,maka acara Wiwaha Samskara dimulai dengan ngaturang bakti pejati,canang pengraos dan kelengkapan lainnya. Usai pemangku nganteb,maka acara dibuka oleh keluarga pihak predana/tuan rumah,memperkenalkan para saksi dan keluarga yang menyambut para tamu  dan keluarga mempelai juga menjelaskan rangkaian acara yang sudah disepakati sebelumnya,sehingga kronologi perkawinan itu diketahui oleh para saksi. Selanjutnya perwakilah pihak purusa juga memperkenalkan para saksi dan keluarga yang diajak untuk mengikuti acara Wiwaha Samskara ini. Usai kedua belah pihak menyampaikan sistematika perkawinan itu, maka pengantar acara terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Klian Banjar Adat predana sebagai saksi pertama dan akan melepas warganya dari catatan data krama,kemudian diserahkan kepada Bendesa,sekaligus memberi nasehat kepada mempelai berdua,dan menjelaskan ilikita perarem tentang kawin keluar, kemudian kramanya mulai saat itu dilepas dari cacah jiwa Desa Adat predana,kemudian giliran saksi berikutnya adalah Bendesa Purusa,menerima dan akan mencatat Wanita tersebut sebagai warganya dan bendesa langsung menyerahkan uang penepak suara /pengepik cacah jiwa dan bakti pejati katur ring Bhagawan Penyarikan Bale Patok ,uang dan banten tersebut diserahkan Kepada bendesa predana. Kalau disaksikan oleh Klian banjar Purusa,maka Bendesa menyerahkan pencatatan cacah jiwa mempelai Perempuan kepada Klian Banjar yang bersangkutan. Usai saksi Adat maka dilanjutkan saksi dari Banjar Dinas Predana dan Purusa,kemudian dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara perkawinan dari masing-masing pihak. Acara selanjutnya seserahan pewarangan dari pihak orang tua Purusa kepada orang tua Predana,berupa base buah,tuak arak dan runtutannya. Di era sekarang kalau ada acara pasang/tukar cincin/sunting ali ali tresna, maka kesempatan inilah saatnya. Selesai acara tukar cincin ada doa wiwaha dan diakhiri dengan penyineb bakti pengraos dengan ngedetin peras oleh para saksi dan mempelai beserta orang tuannya masing-masing,atau simpelnya susunan acara Wiwaha Samskara adalah sebagai berikut (sebelumnya pemangku sudah ngantebang bakti pejati dan bakti pengraos) :

Tahapan pawiwahan ini adalah tahapan puncak,dimana setelah melaksanakan upacara mebyekaon,pekala-kalaan,kedua mempelai kembali kerumah bajang/Perempuan untuk melaksanakan Wiwaha Samskara yaitu penyelesaian upacara wiwaha dengan saksi dari pihak Klian Banjar Adat,Bendesa dan Klian Banjar Dinas secara kedinasan dari pihak Pursa dan Predana. Tahapannya,setelah mempelai mesayut di lebuh ,lanjut berkumpul ditempat yang sudah disediakan ,Bersama orang tua,klian dadia dan saksi-saksi bersilaturahmi menikmati suguhan yang dihidangkan oleh pihak predana,maka acara Wiwaha Samskara dimulai dengan ngaturang bakti pejati,canang pengraos dan kelengkapan lainnya. Usai pemangku nganteb,maka acara dibuka oleh keluarga pihak predana/tuan rumah,memperkenalkan para saksi dan keluarga yang menyambut para tamu  dan keluarga mempelai juga menjelaskan rangkaian acara yang sudah disepakati sebelumnya,sehingga kronologi perkawinan itu diketahui oleh para saksi. Selanjutnya perwakilah pihak purusa juga memperkenalkan para saksi dan keluarga yang diajak untuk mengikuti acara Wiwaha Samskara ini. Usai kedua belah pihak menyampaikan sistematika perkawinan itu, maka pengantar acara terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Klian Banjar Adat predana sebagai saksi pertama dan akan melepas warganya dari catatan data krama,kemudian diserahkan kepada Bendesa,sekaligus memberi nasehat kepada mempelai berdua,dan menjelaskan ilikita perarem tentang kawin keluar, kemudian kramanya mulai saat itu dilepas dari cacah jiwa Desa Adat predana,kemudian giliran saksi berikutnya adalah Bendesa Purusa,menerima dan akan mencatat Wanita tersebut sebagai warganya dan bendesa langsung menyerahkan uang penepak suara /pengepik cacah jiwa dan bakti pejati katur ring Bhagawan Penyarikan Bale Patok ,uang dan banten tersebut diserahkan Kepada bendesa predana. Kalau disaksikan oleh Klian banjar Purusa,maka Bendesa menyerahkan pencatatan cacah jiwa mempelai Perempuan kepada Klian Banjar yang bersangkutan. Usai saksi Adat maka dilanjutkan saksi dari Banjar Dinas Predana dan Purusa,kemudian dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara perkawinan dari masing-masing pihak. Acara selanjutnya seserahan pewarangan dari pihak orang tua Purusa kepada orang tua Predana,berupa base buah,tuak arak dan runtutannya. Di era sekarang kalau ada acara pasang/tukar cincin/sunting ali ali tresna, maka kesempatan inilah saatnya. Selesai acara tukar cincin ada doa wiwaha dan diakhiri dengan penyineb bakti pengraos dengan ngedetin peras oleh para saksi dan mempelai beserta orang tuannya masing-masing,atau simpelnya susunan acara Wiwaha Samskara adalah sebagai berikut (sebelumnya pemangku sudah ngantebang bakti pejati dan bakti pengraos) :

ü  Pemahbah/Pembukaan oleh pengeter baos/tuan rumah

ü  Pengaksama:

v  Pihak Predana

v  Pihak Purusa

ü  Saksi-saksi sah pekesah:

v  Klian Banjar Adat Predana yang melepas kepada Bendesa Predana

v  Bendesa Predana melepas kepada Bendesa Purusa,

v  Bendesa Purusa menerima warga predana (mem-pelai Perempuan)  sekalian menyerahkan putusan perarem tentang ketentuan wiwaha.

v  Klian Banjar Adat Purusa menerima pencatatan warga baru di Banjarnya.

v  Kliana Banjar Dinas predana melepas warganya

v  Klian Banjar Dinas Purusa menerima sebagai warga baru.

Catatan : untuk pengaksama pihak purusa sekalian bisa diwakilkan pada pihak prerdana untuk efesiensi waktu,karena acara keluarga sudah selesai saat medarma suaka. Dalam acara saksi masing-masing saksi memberi sedikit nasehat kepada mempelai, tapi yang diutamakan adalah kehadiran mereka sebagai saksi adat dan dinas.

ü  Penandatanganan berita acara pencatatan dan saksi pawi-wahan baik adat maupun saksi dinas.

ü  Serah Terima Pewarangan dari Purusa kepada keluarga/ orang tua Predana.

ü  Doa/Puja Pengastuti Wiwaha: contoh

* Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Lasksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha.. artinya semoga kedua mempelai dapat membangun keluarga yang Sukinah(selalu harmonis dan berbahagia),sejahtera lahir batin, teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa,agar pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai.

  Mohon Keharmonisan : 

    Om iha iva stam ma vi yaus tam ,Wiswam ayur vyasnutam,Kridantau putrair naptrbhih Modamanau swe grhe Artinya:Ya Tuhan, anugerahkanlah kepada pasangan pengantin ini kebahagiaan, keduanya tiada terpisahkan dan panjang umur. Semoga penganten ini dianugerahkan putra dan cucu yang memberikan penghiburan, tinggal di rumah

*Doa mohon ketenangan rumah tangga :

   Om visovisovo atithim,Vajayantah purupriyam,Agnim vo duryam vacah,Stuse sasasya manmabhih.   Artinya:     Ya Tuhan, engkau adalah tamu yang datang pada setiap rumah. Engkau amat mencintai umatmu. Engkau adalah sahabat yang maha pemurah. Perkenankanlah hamba memuja-Mu dengan penuh kekuatan, dalam ucapan maupun tenaga dan dalam lagu pujian.

*    Doa mohon cinta kasih-Nya   :  

    Om vicakrame prthivim esa etam,Ksetraya visnur manuse dasasyan,Kruvaso asya kiraya janasa,Uruksitim sujanima cakara. Artinya: Om Sang Hyang Widhy Wasa, Engkau Hyang Wisnu yang membentang di bumi ini, menjadikan tempat tinggal bagi manusia. Kaum yang hina aman sentosa di bawah lindungan-Mu. Yang mulia telah menjadikan bumi tempat yang lega bagi mereka.

*    Dll.

ü  Penutup dari MC./pengeter baos dan disineb oleh jero mangku pemuput,bakti pejati diambil peras dan disahkan/kedetin oleh Jero Mangku(saksi niskala) mempelai,orang tua dan saksi saksi. Selanjutnya penganten ke merajan mepamit di merajan kemulan, sedangkan para tamu dijamu untuk santap siang Bersama. Selesai makan,maka acara dinyatakan bebas,untuk sembahyang biasanya diikuti oleh keluarga dekat saja.

 

d.     Mepamit di Merajan Kemulan.(Dewa Saksi)

 

Selesai acara wiwaha samskara maka mempelai berdua lanjut mengadakan persembahyangan di sanggah atau merajan kemulan yang bertujuan untuk mohon restu niskala dari Bhetara Guru,mepamit akan pindah kerumah suaminya. Kemudian dilanjutkan dengan natab pawetonnya yang terakhir di tempat itu yang bertujuan untuk mengajak saudara empatnya ikut pindah dan menjaga dirinya.

Acara ini ada juga yang mepamit sampai ke Dadianya,tergantung dadia yang bersangkutan,intinya mohon restu mepamit dari kawitannya menuju kawitan baru sesuai dengan kawitan suaminya.

Usai sudah rangkaian acara lalu disuguhkan makanan,selesai makan Kembali kerumah mempelai yang baru(purusa) dan biasanya pada saaat ini pihak keluarga prerdana akan ikut mengantarkan kerumah suaminya untuk bersilaturahmi sebagai keluarga baru.

 

2.Ngerorod/Kawin Lari.

Dewasa ini jenis perkawinan ini jarang dilaksanakan,kalua zaman dulu ketika masih peradaban lama sering terjadi,kalua sekarang mungkin dianggap bertentangan dengan hak azasi manusia. Dasar terjadinya perkawinan jenis ini karena tidak adanya restu atau persetujuan salah satu pihak dan bahkan bisa jadi kedua belah pihak orang tua yang bersangkutan, karena itu mempelai mengambil jalan ngerorod ini.

Langkah yang dilakukan :

a.     Mengambil wanitanya secara diam-diam/ngemaling,kemudian dibawa ketempat tertentu yang sudah disiapkan untuk bersembu-nyi.

b.     Pihak purusa mengutus orang untuk membawa surat pernyataan bermeterai yang isinya bahwa mereka yang menikah sudah saling mencintai ,bukti itulah dibawa oleh utusan purusa ke kantor kepala desa asal perempuan yang diculik itu,pihak dinaslah yang memediasi,apakah diijinkan pulang menyelesaikan upacara perkawinan atau tidak. Kalau tidak diijinkan maka upacaranya hanya dipihak purusa.

c.     Pada intinya hanya proses yang berbeda,waktu yang berbeda, upacara bisa berbeda tergantung hasil mediasi dan itu perlu proses yang lebih Panjang.

d.     Kalau keras mungkin bisa putus hubungan orang tua dengan anaknya,tapi pada umumnya setelah berjalan dalam kurun waktu tertentu dan punya anak,emosi orang tua sudah reda,maka cucunya bisa digendong artinya sudah berdamai,akhirnya berjalan normal, maka acarapun bisa diselesaikan seperti biasa.

 

3.Nyentana

Perkawinan ini pada prinsifnya sama dengan memadik cuman prosesnya terbalik,pihak perempuanlah yang memadik pihak laki,dalam hal ini perempuannya berstatus purusa,perempuannya yang mengambil laki lakinya, kemungkinan anak perempuan ini hanya satu satunya di keluarga itu,maka untuk mempertahankan kelangsungan keluarganya ia mencari laki laki yang mau nyentana. Karena di Bali berlaku hukum patrilineal/laki laki sebagai purusa yang mendapat waris dan berkewajiban melanjutkan swadarma dan swadikaranya,di Desa Adat Tegenan ini pernah terjadi sekitar tahun 1986.

 

4.Para Separo atau Pada Gelahang

Jenis perkawinan ini di Tegenan juga pernah terjadi namun beda agama, sehingga masing masing menganut keluarganya,persoalannya akan mun-cul Ketika mempunyai keturunan terutama pihak Perempuan sebagai agama hindu yang nota bena ada kawitannya,maka masuk di kawitannya, tetapi masalahnya anak yang mana mengikut bapak atau ibu. Pada intinya menurut Prof Wayan Windia sang pencetus gagasan,hanya salah satu solusi sementara,mau melaksanakan silahkan,cetusnya.

 

D.SAHNYA SEBUAH PERKAWINAN

Sebuah perkawinan umat hindu dipandang sah atau legal secara adat  apabila ada saksi dalam melaksanakan upacara wiwaha (mabyakala) yang terdiri dari Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang dimohon untuk menyaksikan upacara pewiwahan tersebut,yang terdiri dari :

 

1.    1.Adanya  Bhuta Saksi.

Pada saat dilaksanakan upacara byakala kita membakar tetimpug yang dibuat dari beberapa potong bambu yang kedua ruasnya masih utuh sehingga pada waktu dibakar dapat menimbulkan suara ledakan. Suara ledakan merupakan simbol untuk memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara bahkan ikut menjaga keamanan upacara serta ikut menyaksikan upacara tersebut. Setelah selesai prosesi upacara wiwaha (byakala), maka pasangan pria dan wanita tersebut resmi menjadi suami istri tahap pertama (dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grehastin.

 

2.     ~. AdanyaManusa Saksi.

 


 
Manusa saksi dalam perkawainan umat hindu mengundang/ ngulemin Klian Banjar Adat,Bendesa Adat dan Klian Banjar Dinas, baik dari pihak Purusa maupun pihak predana karena ada acara sah pekesah. Pihak Banjar Adat predana melepas kepada Bendesa , Bendesa predana melepas warganya kepada Bendesa Purusa, Bendesa purusa menerima dan melepas Kembali kepada Klian Banjar Adat di tempat tinggalnya nanti, lengkap dengan penyerahan penepak suara sesuai perarem adat. Manusa saksi yang lainnya adalah Klian Banjar Dinas Predana menyerahkan kepada Klian Banjar Dinas Purusa, dengan masing-masing menanyakan dan menasehati sang dampati atau sang mawiwaha,dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara perkawinan dan pelepasan warga predana ke tempat tinggal keluarga purusa. Dengan kehadiran prejuru desa dan dinas maka manusa saksi bisa mengesahkan perkawinan itu sesuai dengan jenis perkawinan tersebut.

 

3.     ~. Adanya Dewa Saksi.

Usai acara Wiwaha Samskara dalam manusa saksi,maka dilan-jutkan dengan upacara di merajan dengan banten sesuai dresta,di bale dangin ,tempat tidur atau sesua situasi dan kondisi sang dampati,ada juga mepamit sampai ke paibon atau dadianya masing-masing,dengan demikian secara adat perkawinan ini sudah sah secara adat .

 

4.     ~. Sah Menurut Undang Undang.

Keberadaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawin-an, sesungguhnya merupakan wujud nyata dari perjuangan kaum ibu Indonesia. Undang-Undang ini sesungguhnya telah diperju-angkan sejak tahun 1928. Liku-liku perjuangan kaum wanita yang teramat panjang itu, lalu baru pada bulan Januari 1974 para wanita Indonesia menuai hasilnya dengan bukti memiliki Undang-Undang tentang perkawinan. Setelah diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara dan melalui Ketetapan Presiden, kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang No.I tahun 1974, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:150).       

Selanjutnya pada tanggal 1 April 1975 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintahan tentang pelaksanaan Undang-Undang No.I tahun 1974 tentang perkawinan, yang lebih dikenal dengan nama Peratutan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Terkait dengan pencatatan perkawinan secara hukum Nasional dapat dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Pada umumnya Undang-Undang Perkawinan tersebut secara prinsip mengandung azas-azas yang dapat mengantarkan pasangan suami-istri pada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Adapun azas-azas yang terkandung dalam undang-undang yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1.     Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.     Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut Hukum Agama yang dianut, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.     Undang-Undang Perkawinan mengandung asas monogami.

4.     Calon suami istri harus sudah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.

5.     Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.

6.     Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat diatur dalam undang-undang ini.

7.     Ketentuan tentang umur boleh menikah sesuai undang-undang ini dan kemudian disempurnakan dengan undang-Undang No.16 tahun 2019 tentang Perkaawinan.

8.     Perkawinan sah secara hukum/undang undang apabila dicatatkan di kantor Catatan Sipil/Dukcapil dan keluar  hasil pencatatan di lembaga negara dalam bentuk Surat Akta Perkawinan.

dengan dilaksanakannya wiwaha seperti itu,maka perkawinan itu sah diakui secara hukum adat dan hukum negara.

Demikianlah catatan singkat mengenai tata cara perkawinan atau pernikahan di desa Adat Tegenan,dengan harapan tahapan yadnya yang ada sesuai dengan dresta adat,agama dan undang-undang yang berlaku untuk itu.

Tujuan penyusunan buku kecil ini tentu mengandung maksud untuk lebih tertib dan tertatanya setiap upacara yadnya,apabila Tri Hita Karana dapat dilaksanakan dengan seimbang,maka tatanan kehidupan di desa adat Tegenan akan lebih harmoni. Implementasinya adalah bagaimana dalam upacara perkawinan itu menjalin hubungan harmoni dengan leluhur/kawitan dengan Ida Betara Kahyangan juga tentunya kepada Ida Betara Guru kemulan dengan ngaturang bakti piuning dan upacara untuk memohon restu beliau sehingga pelaksanaan grehasta asrama itu bisa mewujudkan keluarga yang sukinah.

Bagaimana hubungannya dengan pawongan,ini terbentuk keluarga baru, sehingga perlu adanya penyesuaian kebiasaan prilaku diantara para pihak, kalau bisa terjalin dengan harmoni,apalagi disaksikan dan disahkan oleh penguluning desa baik adat maupun dinas,maka akan terjalin sebuah harmoni yang abadi di keluarga itu. Bagaimana halnya dengan palemahan, ini kaitannya dengan Bhuta saksi upacara pekalakalaan dan juga penataan dekorasi dalam acara resepsi pernikahan tersebut.

Demikian catatan kecil ini,semoga ada manfaatnya untuk des akita dan warganya,kalua ada yang kurang mohon dikritisi,untuk kesempurnaan bersama. Terimakasih Om Santi Santi Santi Om.

 

 

                                                                        Tegenan,16 jkanuari 2024

                                                                        Penulis”         

 

 

 


 
                                                                        Mangku Manik Puspa Yoga