A.Pengertian tentang Hukum Hindu. (Jeromangku_sudiada@yahoo.com)
Hukum
adalah kaidah (aturan) yang telah ditetapkan oleh agama yg diyakininya
khususnya dalam hal ini adalah agama Hindu karena kontekstualnya kita akan
membicarakan Hindu, sesuai dengan judul diatas.
Hukum ini mutlak harus dipatuhi, sebagai panduan didalam mengatur tata hidup,
baik dalam kehidupan individu, keluarga dan masysrakat pada umumnya.
Menurut agama hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai
rujukan dalam usaha mencari penyelesai-an permasalahan yang dihadapi, sesuai
dengan konteks-nya.
Adapun sumber sumber hukum menurut hindu ada yg tertulis maupun yg tidak
tertulis, Hukum hukum hindu yang tertulis sering disebut dengan sastra dresta
yg banyak sekali sastra – sastra hindu yg mengatur tentang hal ini, salah satu
contoh adalah Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak
tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg
terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya).
Ingat Hukum adalah merupakan product jaman, sudah pasti hukum itu akan
menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang
(hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu
relevant sepanjang zaman.
B. Pengertian Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi
atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda
beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara
lain:
a. Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang
berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
b. Dalam
Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai
berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
c. Wirjono
Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni,
2004: 4).
d. Dipandang
dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan
Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu
kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang
pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti
secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi
kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
e. Ter
Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga,
masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan
Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh
keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan
menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan
wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun
serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu
hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan
pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak
hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka
yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan
yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada
leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
f. Himpunan
Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV
dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma
Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:
pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria
dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum
Negara, Agama dan Adat.
C.
Tujuan perkawinan/Pawiwahan menurut Hindu.
Pada dasarnya manusia selain
sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup
bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan
manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing
telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya
sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk
saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda
seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan
merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah
bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu
diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk
dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam
makalah “Menum-buhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa
tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
a. Dharmasampati,
kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua
aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña ,sebab di dalam
grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
b. Praja,
kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan
kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang
anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva
(Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
c. Rati,
kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya
(Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan (
wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk
membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama
Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah
terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal
tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai
berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,Esa
dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya
ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha
nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,Jatha nabhicaretam tau
wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan
perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai
dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja,
dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas
nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan
sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai
tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia
dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan
ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto
bharyaya bharta bharta tathaiva ca,Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai
dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang
istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002:
148).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan
keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang
suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan kekal (moksa).
Perkawinan menurut hindu sangat
dimuliakan, karena dalam setiap perkawinan dipandang sebagai suatu jalan untuk
melepaskan derita orangtuanya, (leluhurnya) diwaktu mereka telah meninggal.
Karena itu perkawinan dan dilahirkannya anak (suputra) merupakan perintah agama
yang dimuliakan. Dengan dilahirkan nya anak dipandang sebagai jalan untuk
menebus hutang (Rna) dan pelaksanaan perkawinan adalah dharma ( kewajiban ) hal
ini ditegaskan dalam menawa dharma sastra sebagai berikut.
Ø Untuk
menjadikan Ibu, maka wanita diciptakannya menjadi IBU dan pria diciptakannya
menjadi BAPAK, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh dharma yang harus
dilakukan oleh wanita – Pria sebagai pasangan suami istri.
Ø Hendaknya
supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini dianggap
hukum yang tertinggi sebagai pasangan suami istri.
( Weda Smrti IX.101)
Ø Hendaknya
laki laki dan perempuan yang terikat dalam tali perkawinan mengusahakan untuk
tidak jemu jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetiaan
antara yang satu dengan yg lainnya.
( Weda Smrti IX.101 )
Berdasarkan kutipan sloka tersebut
diatas jelaslah behwa perkawinan menurut hukum agama Hindu adalah terbentuknya
sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam seumur hidupnya. Keluarga (rumah
tangga) bukan semata mata tempat berkumpulnya laki laki dan perempuan sebagai
pasangan suami istri dalam suatu rumah, namun sesungguhnya terbinanya suatu
kepribadian, ketentraman lahir dan bhatin, hidup rukun, damai dalam upaya
menurunkan tunas muda (suputra / suputri).
D. Perkawinan menurut UU No 1 tahun
1974
Dalam bab I pasal 1.menyebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian
dalam pasal 2 menyebutkan, perkawinan
adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing masing, hukum agamanya dan
keper-cayaannya itu.
Berumah tangga dalam
masyarakat Hindu dipersepsikan kedalam Tri Hita Karana, yaitu keselarasan
(keharmonisan) hubungan yang menyebabkan kebahagiaan yang meliputti keserasian
hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), keserasian hubungan antara manusia
dengan manusia (Pawongan) dan keserasian hubungan manusia dengan alam semesta
lingkungan (Palemahan) dengan demikian konsep rumah tangga menurut Hindu
mengajarkan hubungan yang seimbang diantara tiga sumber kesejahteraan dan
kedamaian ini.
Diharapkan keluarga Hindu selalu
berusaha menjaga keharmonisan hubungan diantara ketiga unsur tersebut.
Kehidupan rumahtangga merupakan awal dari bersatunya dua jiwa (dua Pribadi)
antara seorang pria dan wanita yang disahkan dengan melakukan wiwaha samskara
(Upacara pernikahan-yang disimbulkan dalam sesayut SADAMPATI) Masa berumah
tangga menurut ajaran Hindu, disebut Grehasta, yaitu tahapan kehidupan yang ke
II dalam ajaran catur asrama dimana dalam tujuan hidupnya diprioritaskan untuk
mendapatkan Harta dalam memenuhi kama yang dilandasi dengan dharma. Kama adalah
salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan kama jangan sampai
memperbudak sang diri, namun kama kiranya harus diken-dalikan sehingga menjadi
wahana untuk mencapai tujuan.
E. Legalitas Perkawinan menurut hukum
Hindu.
Banyak macam prkawinan yang
kita dengar, adapun macam macam perkawinan yang dimaksud itu sebenarnya
tergantung dari tata-cara bagaimana sampai menjadi perka-winan itu sendiri,
secara umum perkawinan itu bisa dibedakan menjadi 3 yaitu :
a. Monogami
: Seorang pria beristrikan seorang wanita.
b. Polygamy
: Seorang pria beristrikan lebih dari satu orang wanita.
c. Polyandri
: Seorang Wanita bersuamikan lebih dari satu suami
Didalam manu-smerti lebih jauh memaparkan kedalam bentuk perkawinan yang
dibagi kedalam dua golongan yaitu :
a. Golongan
perkawinan yang dibenarkan dan dianjur-kan
menurut hindu adalah :
Ø Brahma
Wiwaha adalah Suatu cara yg terhormat yang dilakukan oleh
keluarga pihak wanita, yang mengawinkan anaknya dengan seorang peria yg
berpendidikan dan berbudi luhur, Pemberian ini bukan merupakan suatu paksaan
namun adalah suatu kewajiban yg dirasakan oleh orang tua mempelai wanita.
Cara ini adalah merupakan perkawinan yg paling terhormat menurut system
perkawinan hindu, dengan cara anak perempuan yg dihiasi sedemikian rupa,
kemudian diserahkan kepada pemuda, beserta keluarga yang datang untuk
perkawinan tersebut.
Ø Prajapatya
Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang
putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan
mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan
setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
Ø Daiwa
Wiwaha adalah perkawinan dengan cara pihak laki-laki
menerima gadis dari keluarga perempuan sebagai pemberian atas jasa atau
tindakan yang dikerjakan oleh pihak Pemuda. Biasanya pemberian ini diberikan
kepada pendeta, yg membantu menyelesaikan upacara dirumah keluarga wanita,
karena ini sebagai pemberian yg terhormat, maka menurut hukum Hindu tidak
melarang cara wiwaha ini.
Ø Gandarwa
Wiwaha adalah bentuk wiwaha yang dilandasi atas dasar cinta,
dimana calon pasangan suami lan istri berhubungan secara langsung, dan kedua
pihak orang tuanya sepertinya tidak tau menau (meskipun mungkin mengetahuinya).
Contoh ini amat banyak dijumpai di Bali, yaitu dalam bentuk NGEROROD, atau
seperti yang dilakukan dalam kisah mahabrata. SAKUNTALA & Raja DUSYANTA.
Ø Arsha
Wiwaha Adalah suatu wiwaha karana adanya hubungan timbal
balik dari kedua belah pihak, dimana keluarga wanita melepaskan anaknya untuk
kawin dengan pemuda idaman dan dari pemuda memberikan penghargaan sepasang
lembu sebagai kewajiban dalam dharma untuk meminang seorang gadis, dalam hal
ini tidak ada unsur jual beli atau barter, hal ini diterima atas dasar
kesepahaman dari kedua belah pihak.
b. Golongan
perkawinan yg tidak dibenarkan dan
harus dihindari adalah:
Ø Asura
Wiwaha adalah pernikahan dengan pria memberikan mas
kawin sesuai kemampuannya dan oleh keinginannya sendiri alias tidak ada paksaan.
Ø Paisaca
Wiwaha adalah bentuk perkawinan de-ngan cara paksaan dan
kekerasan, melalui obat bius, penenang memberikan minuman yang memabukan, atau
dengan cara licik, kemudian gadis diperkosa sedemikian rupa, sehingga
terjadilah senggama diluar kesdarannya, hal ini juga dikatakan perkawinan yang
dilarang.
Ø Raksasa
Wiwaha adalah suatu
bentuk perkawi-nan yg dilakukan dg cara memaksa si wanita oleh pihak pemuda
itu, walaupun perempuan itu menangis lantaran tidak setuju, dan bahkan terjadi
perkelahian antara kedua belah pihak hingga terjadi kekerasan pisik, bentuk
perkawinan ini dikatakan MLEGANDANG.karena sifatnya memaksa maka bentuk
perkawinan semacam ini adalah yg dilarang.
c. Dalam
implementasi wiwaha/perkawinan adat Bali
/A-gama Hindu,ada beberapa jenis pelaksanaanya al.:
Ø Memadik/meminang
adalah bentuk perkawinan yang banyak dilaksanakan di era sekarang,dalam
pelaksanaannya didasari atas cinta sama cinta dan setuju sama setuju diantara
keluarga kedua belah pihak. Mulai dari perencanaan akad nikah, upacara
pernikahan disaksikan oleh Tri Upasaksi (Bhuta Saksi,Manusa Saksi dan Dewa
Saksi yaitu upacara dipamitkan oleh mempelai dan orang tuannya di merejan
perempuan/mepamit /mohon restu secara niskala),semua itu disepakati kedua belah
pihak dan tidak ada yang dikecewakan.
Ø Ngerorod/Merangkat
adalah perkawinan yang dilandasi cinta tetapi tidak mendapat restu orangtua dan
atau untuk menutupi gengsi atas status sorohnya yang merasa tinggi,sehingga
penyelesaiannya minta bantuan mediasi oleh klian Banjar dan atau
perbekel(diselesaikan secara dinas biasanya)
Ø Nyentana
adalah perkawinan statusnya terbalik, dimana laki-laki diambil oleh
perempuannya,se-hingga pihak perempuanlah yang berstatus sebagai purusa
sedangkan yang pengantin laki berstatus sebagai predana.
Ø Kawin
Pada Gelahang,model perkawinan ini dicetuskan oleh
Prof.Dr.P.Windia,sebagai salah satu solusi perkawinan apabila kedua belah pihak
ngotot mempertahankan anaknya,misal hanya satu punya anak perempuan dan
laki-lakinya juga begitu,shingga kedua pihak bersikukuh maka untuk damainya
dicari jalan tengah sama sama berhak. Persoalannya akan muncul ketika sudah
punya keturunan,karena ada dua klen/soroh,maka anak ini akan mengikuti kawitan
ayah atau ibunya. Nah inilah kesulitannya.
Demikianlah beberpa bentuk
perkawianan yang dilegalkan menurut ajaran agama hindu maupun yang dilarang dan
bertentangan agama hindu, yang mana dibutuhkan kearifan didalam kita
menelaahnya.
F.Sah dan Syarat Pawiwahan.
Sistem perkawinan di Indonesia
dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama
masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena
itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas
catatan sipil.
1. Menurut
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbu-nyi;“perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
2. Menurut
R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada
satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain
daripada suatu tindakan administrasi
3. Abdulrahman
yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan
sahnya perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah
apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian
pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena
pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh
Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
4. Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat
tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
Ø Dalam
pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon
mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus
secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari
kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali
yang masih ada hubungan darah.
Ø Dalam
ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus
dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:
“Adbhirewa
dwijagryanam kanyadanam wicis-yate, Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan
percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup
dilakukan dengan pernya-taan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002:
141).
Ø Menurut
pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai
umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan
persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Ø Agama
Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava
Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah
mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya
hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat
yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur
yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan
calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang
layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya
setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
Ø Sebagaimana
diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu
perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava
Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan
Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan
laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu
lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan
wanita yang tidak memiliki etika.
Ø Selain
itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh
calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani(bagi yang beda agama), surat
keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang
orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan
dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan
belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin
orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama
Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut
dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih
karmabhih punyair nisekadir-dwijanmanam, Karyah carira samskarah pawa-nah
pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci
hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta
upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat
mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia”
(Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak
mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu
selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang
berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa
disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh
pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di
dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma
sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti
smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,iha kirtimawapnoti pretya canuttamam
sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka
suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia
ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak
ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara
perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat
bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan
jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut
kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat
pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta
pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu.
Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai
dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar
sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha
yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon
mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam
budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara
ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi
mantra atau stotra.
3) Laja
Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk
kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha
artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa
apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus
diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak
dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang
menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi
rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji
tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya
artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra
artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum
yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu
dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan
yajña.
7) Daksina
artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau
uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra
artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan
yang dilantunkan.
9) Annasewa
artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan sekedarnya
dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita
artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk
memamerkan kemewahan.
G.
Grehastha (Hidup Berumah Tangga)
Perkawinan atau berumah tangga adalah
tahapan yang kedua dalam ajaran catur asrama yang diawali oleh kehidupan
brahmacari, yaitu jenjang kehidupan dalam kurun waktu menuntut ilmu pengetahuan
yang dilandasi dengan dharma sebagai pegangan dalam kehidupannya. Menjaga kode
etik yang telah digariskan dalam hukum agama hindu serta memegang teguh sesananing
ASEWALA GURU.(masa belajar). Apabila telah selesai menuntut ilmu dan dirasa
cukup dalam ngrangsukawruh yg ditandai dengan upacara samawartama (semacam
wisuda). Apabila siswa tersebut tidak berumah tangga selamanya, untuk
mengabdikan dirinya sebagai pelayan tuhan dan pelayan umat atas panggilan
nuraninya tidak kawin maka sisya tersebut melakukan kehidupan sukla
barhmacarya.
Namun apabila melaksanakan
wiwaha serta berumah tangga cukup hanya sekali dalam hidupnya,hal ini harus
dipikirkan matang-matang untuk membangun pondasi rumah tangga yang kuat. Maka
perkawinan tidak semata-mata dilandasi cinta oleh pengantin saja, namun
penyatuan dua keluarga yang berbeda,baik sifat,karatkter,tradisi adat dan
budayanya. Disinilah perlu pemahaman dan saling pengertian dan saling
menghargai kedua pihak sehingga harapan membentuk keluarga sukinah bawantu bisa
terwujud.
Kita harus sadari dan sadar
sesadar-sadarnya bahwa peradaban zaman terus berubah seiring waktu,maka adat
tradisi budayapun pasti berubah,makanya kita harus menyadari,jangan apriori terhadap perubahan,kalau sudah zaman menghendaki,sebagai contoh remaja dulu mau nikah tidak ada acara prawedding, tukar cincin,sekarang itu terjadi,mau apa lagi yang penting kita tidak jauh merubah tatanan adat,pada prinsipnya proses perkawinan dan saksi saksi tidak menyimpang dari ketentuan.(Manixs)