Kamis, 18 Januari 2024

TRADISI PAWIWAHAN DI DESA ADAT TEGENAN

A.Rasional.

Desa Adat Tegenan yang berada di Kawasan Pura Agung Besakih adalah salah satu Desa Pregunung yaitu desa yang mempunyai tanggungjawab moral dalam prosesi upacara di pura kahyangan jagat terbesar di Bali itu,seperti kewajiban niskala ngiring dan mundut Ida Bhatara dalam kegiatan melasti yang dibagai sesuai warisan tradisi leluhur,kalau di Desa Karang Tegenan mendapat tugas mundut Ida Bhetara Dalem Puri,Batusesa bertugas mundut Ida Bhetara Lingsir dan demikian juga dengan desa pregunung lainnya. Sehubungan dengan swadarma tersebut,maka setiap aspek religius upacara yadnya selalu dihubungkan dengan kesucian dan kesusilaan prilaku beryadnya,seperti misalnya upacara pitra yadnya di pregunung Tegenan dan desa pregunung lainnya tidak diperkenankan membakar mayat,yang dilakukan adalah mengubur mayat,karena kalau membakar maka asapnya akan membuat cemer/kotor/sebel  area suci Pura Agung Besakih. Demikian pula dengan upacara yadnya lainnya tetep melakukan etika sesana berhubungan dengan tradisi kesucian Pura Agung Besakih seperti piodalan di Pura pantang dilaksanakan bersamaan dengan upacara/ karya di Pura Agung Besakih utamanya Purnama Kedasa. Upacara yadnya lainnya seperti manusa yadnya perkawinan juga tetap menjaga kesucian agar tidak kesebelan atau cemer sehingga prosesi pelaksanaan wiwaha terutama ketika ada krama yang kawin keluar sebagai pihak predana wajib memperhatikan sesana atau etika ini,yang pada intinya untuk kerahayuan pertisentana kedepannya.

Melaksanakan wiwaha atau perkawinan bagi umat Hindu memiliki makna yang sangat penting,dalam Catur Asrama, wiwaha termasuk fase Grehasta Asrama. Memasuki fase Grehastha "wiwaha" merupakan fase yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra; bahwa wiwaha bersifat sakral, wajib hukumnya, dalam arti harus dilakukan oleh setiap orang yang hidupnya normal. Melaksanakan wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini. 

Perkawinan atau wiwaha tidak baik jika dilakukan karena dipaksakan, pengaruh orang lain, dan sikap kekerasan yang lainnya. Hal ini perlu dipahami dan dipedomani untuk menghindari terjadinya ketegangan setelah menjalani Grehasta Asrama. Wiwaha hendaknya dilandasi oleh rasa kasih dan sayang,saling mencintai, saling mempercayai, saling menyadari, kerja sama, saling mengisi, bahu-membahu dan yang lainnya dalam setiap kegiatan rumah tangga.Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban,  hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang sesuai swadharmanya ,suami sebagai kepala keluarga sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga.

Menurut ajaran agama Hindu, perkawinan itu adalah “yajna” sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju Grehastha Asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya. Pada masa Grehastha inilah seseorang dihadapkan pada tiga usaha yang harus dilaksanakan, yaitu memenuhi hal-hal berikut.

  1. Dharma yaitu aturan-aturan yang harus ditaati dengan kesadaran berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara.
  2. Artha yaitu segala kebutuhan rumah tangga berupa material dan pengetahuan yang harus terpenuhi.
  3. Kama yaitu rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga. Setiap keluarga Hindu harus mampu hidup dalam kesadaran, sujud kepada TuhanYang Maha Esa/Ida Sang Yang Widhi Wasa, bebas dari kegelapan, selalu giat  bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tenteram, harmonis, dan damai serta abadi, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:151).


B.Pengertian Perkawinan 

1.   Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ,yang disempurna-kan dengan perubahan menjadi Undang Undang No. 16 tahun 2019, pasal 1 menjelaskan, bahwa: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) baru yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:149).    

2.     Pawiwahan menurut Hindu adalah upacara yang sakral dimana seorang laki-laki dan perempuan mengikatkan diri secara lahir bathin sebagai suami istri untuk membangun rumah tangga yang harmonis melalui suatu upacara pembersihan secara sekala dan niskala.

Menurut definisi tersebut, perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang (pria dan wanita) secara lahir maupun batin. Mereka berkumpul dengan membentuk rumah tangga yang baru dan bahagia. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mengutamakan dan mempunyai unsur jasmani semata tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi kebutuhan seksnya, tetapi lebih dari itu. Perkawinan atau wiwaha identik dengan upacara yajna, yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tak terpisah dengan hukum agama, dan menjadikan hukum Hindu sebagai dasar persyaratan. Legalnya suatu perkawinan “di Bali” ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha seperti upacara byakala atau mabyakaonan.


C.   JENIS PERKAWINAN DAN TATA CARA PELAKSANAANNYA  

       DI DESA ADAT TEGENAN.   

Perkawinan atau pernikahan yang umum dilaksanakan di Desa Adat Tegenan adalah sebagai berikut:

1.Memadik/Meminang.

Jenis pernikahan ini yang paling umum dilakukan dewasa ini,karena didasari oleh restu kedua belah pihak baik purusa maupun predana sama-sama suka atau pada arsa,maka disebut dengan perkawinan arsa wiwaha.

Rangkaian perkawinan ini diawali dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a.    ~.  Mesedek /Mererasan/Mekruna

      Mesedek adalah acara keluarga inti,Dimana keluarga purusa (ayah,ibu,kakak,adik,misan calon mempelai laki laki) berkunjung ke rumah calon mempelai Wanita,menyatakan maksudnya untuk rencana meminang anak gadisnya,dengan terlebih dahulu tentunya calon mempelai laki laki sudah menyampaikan maksudnya kepada calon mertuanya.terlebih dahulu. Pada acara ini hanya sebatas keluarga initi,dengan membawa sekedar oleh-oleh kepada pihak purusa sebagai dasar   pembicaraan. Yang dibahas rencana berikut-nya kapan dilaksanakan sehingga bersepakat untuk kelancaran acara berikutnya yakni Darma Suaka. Karena sudah ada kesepakatan,maka agar acara berikutnya lancar dilanjutkan acara secara niskala matur piuning mohon restu ring Bhetara Kawitan dan atau Ibu kawitan,Hyang Dewa,kahyangan tiga dan atau kahyangan lainnya yang dianggap penting,namun bisa juga dilakukan pada saat acara mepamit,tergantung dadia masing-masing. Calon mempelai Wanita Bersama keluarganya matur piuning 3 hari atau 1 hari sebelum acara puncak,karena apabila setelah itu si wanita sudah masuk masa kesebelan karen akan fokus pada persiapan perkawinannya.

b.     ~.Darma Suaka.

Pelaksanaan acara darma suaka lebih luas lingkupnya,karena dihadiri oleh prejuru dadia,keluarga besar dadia pihak predana,juga pihak purusa. Dalam acara ini kelengkapan yang dibawa adalah banten pejati untuk matur piuning di betara guru dan 1 lagi ditempat acara dilengkapi dengan canang pengraos. Agendanya setelah usai disuguhi minuman penyanggra dengan basa basi   dan perkenalan, maka acara resmi pedarma suakaan dimulai dengan pemangku yang ditunjuk tuan rumah mulai ngaturang/ngantebang banten pejati,setelah itu baru kemudian juru bicara tuan rumah(predana) nyapa pinaka penyanggra,intinya menyampaikan informasi pesedek yang sudah dilakukan sebelumnya dan meminta pertegas tujuan kehadirannya. Setelah pihak purusa memaparkan tujuan dan Langkah langkahnya,maka pihak predana menanyakan pada anaknya agar mempertegas dihadapan saksi keluarga besar akan kesediaanya menerima pinangan.

Setelah jelas kesediaan calon mempelai Wanita dan laki laki sepakat kejenjang grehasta asrama,maka orang tua/keluarga kedua belah pihak memberi wejangan tatacara dan Langkah menghadapi jenjang grehasta asrama/wiwaha ,kemudian klian dadia atau prejuru memberikan kesaksian dan restu atas rencana pernikahan tersebut mereka berdua,karena sudah direstui oleh kedua belah pihak,serta mengharapkan bisa mewujudkan keluarga sukinah sukam bawantu memiliki anak yang suputra. Pada saat itu mempelai Wanita bisa diajak langsung ke mempelai laki-laki,kalau tidak diambil,maka pada acara puncak,pagi harinya diambil untuk melaksanakan pekala-kalaan/merebu (Bhuta Saksi), tergantung pihak purusa.

 

c.   ~.   Wiwaha Samskara (pengesahan perkawinan oleh Manusa Saksi)

 

Tahapan pawiwahan ini adalah tahapan puncak,dimana setelah melaksanakan upacara mebyekaon,pekala-kalaan,kedua mempelai kembali kerumah bajang/Perempuan untuk melaksanakan Wiwaha Samskara yaitu penyelesaian upacara wiwaha dengan saksi dari pihak Klian Banjar Adat,Bendesa dan Klian Banjar Dinas secara kedinasan dari pihak Pursa dan Predana. Tahapannya,setelah mempelai mesayut di lebuh ,lanjut berkumpul ditempat yang sudah disediakan ,Bersama orang tua,klian dadia dan saksi-saksi bersilaturahmi menikmati suguhan yang dihidangkan oleh pihak predana,maka acara Wiwaha Samskara dimulai dengan ngaturang bakti pejati,canang pengraos dan kelengkapan lainnya. Usai pemangku nganteb,maka acara dibuka oleh keluarga pihak predana/tuan rumah,memperkenalkan para saksi dan keluarga yang menyambut para tamu  dan keluarga mempelai juga menjelaskan rangkaian acara yang sudah disepakati sebelumnya,sehingga kronologi perkawinan itu diketahui oleh para saksi. Selanjutnya perwakilah pihak purusa juga memperkenalkan para saksi dan keluarga yang diajak untuk mengikuti acara Wiwaha Samskara ini. Usai kedua belah pihak menyampaikan sistematika perkawinan itu, maka pengantar acara terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Klian Banjar Adat predana sebagai saksi pertama dan akan melepas warganya dari catatan data krama,kemudian diserahkan kepada Bendesa,sekaligus memberi nasehat kepada mempelai berdua,dan menjelaskan ilikita perarem tentang kawin keluar, kemudian kramanya mulai saat itu dilepas dari cacah jiwa Desa Adat predana,kemudian giliran saksi berikutnya adalah Bendesa Purusa,menerima dan akan mencatat Wanita tersebut sebagai warganya dan bendesa langsung menyerahkan uang penepak suara /pengepik cacah jiwa dan bakti pejati katur ring Bhagawan Penyarikan Bale Patok ,uang dan banten tersebut diserahkan Kepada bendesa predana. Kalau disaksikan oleh Klian banjar Purusa,maka Bendesa menyerahkan pencatatan cacah jiwa mempelai Perempuan kepada Klian Banjar yang bersangkutan. Usai saksi Adat maka dilanjutkan saksi dari Banjar Dinas Predana dan Purusa,kemudian dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara perkawinan dari masing-masing pihak. Acara selanjutnya seserahan pewarangan dari pihak orang tua Purusa kepada orang tua Predana,berupa base buah,tuak arak dan runtutannya. Di era sekarang kalau ada acara pasang/tukar cincin/sunting ali ali tresna, maka kesempatan inilah saatnya. Selesai acara tukar cincin ada doa wiwaha dan diakhiri dengan penyineb bakti pengraos dengan ngedetin peras oleh para saksi dan mempelai beserta orang tuannya masing-masing,atau simpelnya susunan acara Wiwaha Samskara adalah sebagai berikut (sebelumnya pemangku sudah ngantebang bakti pejati dan bakti pengraos) :

Tahapan pawiwahan ini adalah tahapan puncak,dimana setelah melaksanakan upacara mebyekaon,pekala-kalaan,kedua mempelai kembali kerumah bajang/Perempuan untuk melaksanakan Wiwaha Samskara yaitu penyelesaian upacara wiwaha dengan saksi dari pihak Klian Banjar Adat,Bendesa dan Klian Banjar Dinas secara kedinasan dari pihak Pursa dan Predana. Tahapannya,setelah mempelai mesayut di lebuh ,lanjut berkumpul ditempat yang sudah disediakan ,Bersama orang tua,klian dadia dan saksi-saksi bersilaturahmi menikmati suguhan yang dihidangkan oleh pihak predana,maka acara Wiwaha Samskara dimulai dengan ngaturang bakti pejati,canang pengraos dan kelengkapan lainnya. Usai pemangku nganteb,maka acara dibuka oleh keluarga pihak predana/tuan rumah,memperkenalkan para saksi dan keluarga yang menyambut para tamu  dan keluarga mempelai juga menjelaskan rangkaian acara yang sudah disepakati sebelumnya,sehingga kronologi perkawinan itu diketahui oleh para saksi. Selanjutnya perwakilah pihak purusa juga memperkenalkan para saksi dan keluarga yang diajak untuk mengikuti acara Wiwaha Samskara ini. Usai kedua belah pihak menyampaikan sistematika perkawinan itu, maka pengantar acara terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada Klian Banjar Adat predana sebagai saksi pertama dan akan melepas warganya dari catatan data krama,kemudian diserahkan kepada Bendesa,sekaligus memberi nasehat kepada mempelai berdua,dan menjelaskan ilikita perarem tentang kawin keluar, kemudian kramanya mulai saat itu dilepas dari cacah jiwa Desa Adat predana,kemudian giliran saksi berikutnya adalah Bendesa Purusa,menerima dan akan mencatat Wanita tersebut sebagai warganya dan bendesa langsung menyerahkan uang penepak suara /pengepik cacah jiwa dan bakti pejati katur ring Bhagawan Penyarikan Bale Patok ,uang dan banten tersebut diserahkan Kepada bendesa predana. Kalau disaksikan oleh Klian banjar Purusa,maka Bendesa menyerahkan pencatatan cacah jiwa mempelai Perempuan kepada Klian Banjar yang bersangkutan. Usai saksi Adat maka dilanjutkan saksi dari Banjar Dinas Predana dan Purusa,kemudian dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara perkawinan dari masing-masing pihak. Acara selanjutnya seserahan pewarangan dari pihak orang tua Purusa kepada orang tua Predana,berupa base buah,tuak arak dan runtutannya. Di era sekarang kalau ada acara pasang/tukar cincin/sunting ali ali tresna, maka kesempatan inilah saatnya. Selesai acara tukar cincin ada doa wiwaha dan diakhiri dengan penyineb bakti pengraos dengan ngedetin peras oleh para saksi dan mempelai beserta orang tuannya masing-masing,atau simpelnya susunan acara Wiwaha Samskara adalah sebagai berikut (sebelumnya pemangku sudah ngantebang bakti pejati dan bakti pengraos) :

ü  Pemahbah/Pembukaan oleh pengeter baos/tuan rumah

ü  Pengaksama:

v  Pihak Predana

v  Pihak Purusa

ü  Saksi-saksi sah pekesah:

v  Klian Banjar Adat Predana yang melepas kepada Bendesa Predana

v  Bendesa Predana melepas kepada Bendesa Purusa,

v  Bendesa Purusa menerima warga predana (mem-pelai Perempuan)  sekalian menyerahkan putusan perarem tentang ketentuan wiwaha.

v  Klian Banjar Adat Purusa menerima pencatatan warga baru di Banjarnya.

v  Kliana Banjar Dinas predana melepas warganya

v  Klian Banjar Dinas Purusa menerima sebagai warga baru.

Catatan : untuk pengaksama pihak purusa sekalian bisa diwakilkan pada pihak prerdana untuk efesiensi waktu,karena acara keluarga sudah selesai saat medarma suaka. Dalam acara saksi masing-masing saksi memberi sedikit nasehat kepada mempelai, tapi yang diutamakan adalah kehadiran mereka sebagai saksi adat dan dinas.

ü  Penandatanganan berita acara pencatatan dan saksi pawi-wahan baik adat maupun saksi dinas.

ü  Serah Terima Pewarangan dari Purusa kepada keluarga/ orang tua Predana.

ü  Doa/Puja Pengastuti Wiwaha: contoh

* Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Lasksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha.. artinya semoga kedua mempelai dapat membangun keluarga yang Sukinah(selalu harmonis dan berbahagia),sejahtera lahir batin, teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa,agar pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai.

  Mohon Keharmonisan : 

    Om iha iva stam ma vi yaus tam ,Wiswam ayur vyasnutam,Kridantau putrair naptrbhih Modamanau swe grhe Artinya:Ya Tuhan, anugerahkanlah kepada pasangan pengantin ini kebahagiaan, keduanya tiada terpisahkan dan panjang umur. Semoga penganten ini dianugerahkan putra dan cucu yang memberikan penghiburan, tinggal di rumah

*Doa mohon ketenangan rumah tangga :

   Om visovisovo atithim,Vajayantah purupriyam,Agnim vo duryam vacah,Stuse sasasya manmabhih.   Artinya:     Ya Tuhan, engkau adalah tamu yang datang pada setiap rumah. Engkau amat mencintai umatmu. Engkau adalah sahabat yang maha pemurah. Perkenankanlah hamba memuja-Mu dengan penuh kekuatan, dalam ucapan maupun tenaga dan dalam lagu pujian.

*    Doa mohon cinta kasih-Nya   :  

    Om vicakrame prthivim esa etam,Ksetraya visnur manuse dasasyan,Kruvaso asya kiraya janasa,Uruksitim sujanima cakara. Artinya: Om Sang Hyang Widhy Wasa, Engkau Hyang Wisnu yang membentang di bumi ini, menjadikan tempat tinggal bagi manusia. Kaum yang hina aman sentosa di bawah lindungan-Mu. Yang mulia telah menjadikan bumi tempat yang lega bagi mereka.

*    Dll.

ü  Penutup dari MC./pengeter baos dan disineb oleh jero mangku pemuput,bakti pejati diambil peras dan disahkan/kedetin oleh Jero Mangku(saksi niskala) mempelai,orang tua dan saksi saksi. Selanjutnya penganten ke merajan mepamit di merajan kemulan, sedangkan para tamu dijamu untuk santap siang Bersama. Selesai makan,maka acara dinyatakan bebas,untuk sembahyang biasanya diikuti oleh keluarga dekat saja.

 

d.     Mepamit di Merajan Kemulan.(Dewa Saksi)

 

Selesai acara wiwaha samskara maka mempelai berdua lanjut mengadakan persembahyangan di sanggah atau merajan kemulan yang bertujuan untuk mohon restu niskala dari Bhetara Guru,mepamit akan pindah kerumah suaminya. Kemudian dilanjutkan dengan natab pawetonnya yang terakhir di tempat itu yang bertujuan untuk mengajak saudara empatnya ikut pindah dan menjaga dirinya.

Acara ini ada juga yang mepamit sampai ke Dadianya,tergantung dadia yang bersangkutan,intinya mohon restu mepamit dari kawitannya menuju kawitan baru sesuai dengan kawitan suaminya.

Usai sudah rangkaian acara lalu disuguhkan makanan,selesai makan Kembali kerumah mempelai yang baru(purusa) dan biasanya pada saaat ini pihak keluarga prerdana akan ikut mengantarkan kerumah suaminya untuk bersilaturahmi sebagai keluarga baru.

 

2.Ngerorod/Kawin Lari.

Dewasa ini jenis perkawinan ini jarang dilaksanakan,kalua zaman dulu ketika masih peradaban lama sering terjadi,kalua sekarang mungkin dianggap bertentangan dengan hak azasi manusia. Dasar terjadinya perkawinan jenis ini karena tidak adanya restu atau persetujuan salah satu pihak dan bahkan bisa jadi kedua belah pihak orang tua yang bersangkutan, karena itu mempelai mengambil jalan ngerorod ini.

Langkah yang dilakukan :

a.     Mengambil wanitanya secara diam-diam/ngemaling,kemudian dibawa ketempat tertentu yang sudah disiapkan untuk bersembu-nyi.

b.     Pihak purusa mengutus orang untuk membawa surat pernyataan bermeterai yang isinya bahwa mereka yang menikah sudah saling mencintai ,bukti itulah dibawa oleh utusan purusa ke kantor kepala desa asal perempuan yang diculik itu,pihak dinaslah yang memediasi,apakah diijinkan pulang menyelesaikan upacara perkawinan atau tidak. Kalau tidak diijinkan maka upacaranya hanya dipihak purusa.

c.     Pada intinya hanya proses yang berbeda,waktu yang berbeda, upacara bisa berbeda tergantung hasil mediasi dan itu perlu proses yang lebih Panjang.

d.     Kalau keras mungkin bisa putus hubungan orang tua dengan anaknya,tapi pada umumnya setelah berjalan dalam kurun waktu tertentu dan punya anak,emosi orang tua sudah reda,maka cucunya bisa digendong artinya sudah berdamai,akhirnya berjalan normal, maka acarapun bisa diselesaikan seperti biasa.

 

3.Nyentana

Perkawinan ini pada prinsifnya sama dengan memadik cuman prosesnya terbalik,pihak perempuanlah yang memadik pihak laki,dalam hal ini perempuannya berstatus purusa,perempuannya yang mengambil laki lakinya, kemungkinan anak perempuan ini hanya satu satunya di keluarga itu,maka untuk mempertahankan kelangsungan keluarganya ia mencari laki laki yang mau nyentana. Karena di Bali berlaku hukum patrilineal/laki laki sebagai purusa yang mendapat waris dan berkewajiban melanjutkan swadarma dan swadikaranya,di Desa Adat Tegenan ini pernah terjadi sekitar tahun 1986.

 

4.Para Separo atau Pada Gelahang

Jenis perkawinan ini di Tegenan juga pernah terjadi namun beda agama, sehingga masing masing menganut keluarganya,persoalannya akan mun-cul Ketika mempunyai keturunan terutama pihak Perempuan sebagai agama hindu yang nota bena ada kawitannya,maka masuk di kawitannya, tetapi masalahnya anak yang mana mengikut bapak atau ibu. Pada intinya menurut Prof Wayan Windia sang pencetus gagasan,hanya salah satu solusi sementara,mau melaksanakan silahkan,cetusnya.

 

D.SAHNYA SEBUAH PERKAWINAN

Sebuah perkawinan umat hindu dipandang sah atau legal secara adat  apabila ada saksi dalam melaksanakan upacara wiwaha (mabyakala) yang terdiri dari Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang dimohon untuk menyaksikan upacara pewiwahan tersebut,yang terdiri dari :

 

1.    1.Adanya  Bhuta Saksi.

Pada saat dilaksanakan upacara byakala kita membakar tetimpug yang dibuat dari beberapa potong bambu yang kedua ruasnya masih utuh sehingga pada waktu dibakar dapat menimbulkan suara ledakan. Suara ledakan merupakan simbol untuk memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara bahkan ikut menjaga keamanan upacara serta ikut menyaksikan upacara tersebut. Setelah selesai prosesi upacara wiwaha (byakala), maka pasangan pria dan wanita tersebut resmi menjadi suami istri tahap pertama (dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grehastin.

 

2.     ~. AdanyaManusa Saksi.

 


 
Manusa saksi dalam perkawainan umat hindu mengundang/ ngulemin Klian Banjar Adat,Bendesa Adat dan Klian Banjar Dinas, baik dari pihak Purusa maupun pihak predana karena ada acara sah pekesah. Pihak Banjar Adat predana melepas kepada Bendesa , Bendesa predana melepas warganya kepada Bendesa Purusa, Bendesa purusa menerima dan melepas Kembali kepada Klian Banjar Adat di tempat tinggalnya nanti, lengkap dengan penyerahan penepak suara sesuai perarem adat. Manusa saksi yang lainnya adalah Klian Banjar Dinas Predana menyerahkan kepada Klian Banjar Dinas Purusa, dengan masing-masing menanyakan dan menasehati sang dampati atau sang mawiwaha,dilanjutkan dengan penanda tanganan berita acara perkawinan dan pelepasan warga predana ke tempat tinggal keluarga purusa. Dengan kehadiran prejuru desa dan dinas maka manusa saksi bisa mengesahkan perkawinan itu sesuai dengan jenis perkawinan tersebut.

 

3.     ~. Adanya Dewa Saksi.

Usai acara Wiwaha Samskara dalam manusa saksi,maka dilan-jutkan dengan upacara di merajan dengan banten sesuai dresta,di bale dangin ,tempat tidur atau sesua situasi dan kondisi sang dampati,ada juga mepamit sampai ke paibon atau dadianya masing-masing,dengan demikian secara adat perkawinan ini sudah sah secara adat .

 

4.     ~. Sah Menurut Undang Undang.

Keberadaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawin-an, sesungguhnya merupakan wujud nyata dari perjuangan kaum ibu Indonesia. Undang-Undang ini sesungguhnya telah diperju-angkan sejak tahun 1928. Liku-liku perjuangan kaum wanita yang teramat panjang itu, lalu baru pada bulan Januari 1974 para wanita Indonesia menuai hasilnya dengan bukti memiliki Undang-Undang tentang perkawinan. Setelah diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara dan melalui Ketetapan Presiden, kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang No.I tahun 1974, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:150).       

Selanjutnya pada tanggal 1 April 1975 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintahan tentang pelaksanaan Undang-Undang No.I tahun 1974 tentang perkawinan, yang lebih dikenal dengan nama Peratutan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Terkait dengan pencatatan perkawinan secara hukum Nasional dapat dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Pada umumnya Undang-Undang Perkawinan tersebut secara prinsip mengandung azas-azas yang dapat mengantarkan pasangan suami-istri pada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Adapun azas-azas yang terkandung dalam undang-undang yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1.     Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.     Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut Hukum Agama yang dianut, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.     Undang-Undang Perkawinan mengandung asas monogami.

4.     Calon suami istri harus sudah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.

5.     Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.

6.     Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat diatur dalam undang-undang ini.

7.     Ketentuan tentang umur boleh menikah sesuai undang-undang ini dan kemudian disempurnakan dengan undang-Undang No.16 tahun 2019 tentang Perkaawinan.

8.     Perkawinan sah secara hukum/undang undang apabila dicatatkan di kantor Catatan Sipil/Dukcapil dan keluar  hasil pencatatan di lembaga negara dalam bentuk Surat Akta Perkawinan.

dengan dilaksanakannya wiwaha seperti itu,maka perkawinan itu sah diakui secara hukum adat dan hukum negara.

Demikianlah catatan singkat mengenai tata cara perkawinan atau pernikahan di desa Adat Tegenan,dengan harapan tahapan yadnya yang ada sesuai dengan dresta adat,agama dan undang-undang yang berlaku untuk itu.

Tujuan penyusunan buku kecil ini tentu mengandung maksud untuk lebih tertib dan tertatanya setiap upacara yadnya,apabila Tri Hita Karana dapat dilaksanakan dengan seimbang,maka tatanan kehidupan di desa adat Tegenan akan lebih harmoni. Implementasinya adalah bagaimana dalam upacara perkawinan itu menjalin hubungan harmoni dengan leluhur/kawitan dengan Ida Betara Kahyangan juga tentunya kepada Ida Betara Guru kemulan dengan ngaturang bakti piuning dan upacara untuk memohon restu beliau sehingga pelaksanaan grehasta asrama itu bisa mewujudkan keluarga yang sukinah.

Bagaimana hubungannya dengan pawongan,ini terbentuk keluarga baru, sehingga perlu adanya penyesuaian kebiasaan prilaku diantara para pihak, kalau bisa terjalin dengan harmoni,apalagi disaksikan dan disahkan oleh penguluning desa baik adat maupun dinas,maka akan terjalin sebuah harmoni yang abadi di keluarga itu. Bagaimana halnya dengan palemahan, ini kaitannya dengan Bhuta saksi upacara pekalakalaan dan juga penataan dekorasi dalam acara resepsi pernikahan tersebut.

Demikian catatan kecil ini,semoga ada manfaatnya untuk des akita dan warganya,kalua ada yang kurang mohon dikritisi,untuk kesempurnaan bersama. Terimakasih Om Santi Santi Santi Om.

 

 

                                                                        Tegenan,16 jkanuari 2024

                                                                        Penulis”         

 

 

 


 
                                                                        Mangku Manik Puspa Yoga

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar