Yam hi na vyathayantyte
purusam purusarsabha
samaduhkhasukham dhiram
so'mritatvaaya kalpate.
(BhagavadGita II.15).
purusam purusarsabha
samaduhkhasukham dhiram
so'mritatvaaya kalpate.
(BhagavadGita II.15).
Maksudnya: Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya adalah orang yang
seimbang dan teguh menghadapi suka dan duka, orang yang demikian itulah yang
akan mencapai kehidupan yang bahagia dan kekal.
KEHIDUPAN umat adalah pada abad
tehnologi dan informasi ini, dinamikanya amatlah fluktuatif. Lonjakan dan
empasan suka duka amat tajam. Cepat beredarnya informasi, komunikasi,
transportasi, pariwisata, iptek dan juga peredaran perdagangan menyebabkan
kehidupan ini amat dinamis. Umumnya masyarakat memandang suka itu sebagai
anugrah Tuhan dan duka hukuman Tuhan. Padahal semua agama meyakini bahwa Tuhan
itu maha pelindung, maha pengasih lagi penyayang, maha penyelamat dst. Kalau
keyakinan itu dikuatkan dalam sanubari tidaklah mungkin orang ada orang
menderita duka, pasti dalam keadaan suka terus karena Tuhan pasti melindungi
dan mengasihi. Apalagi Tuhan itu maha kuasa dan tidak ada yang dapat melampaui
kemahakuasaan Tuhan. Mengapa ada pandangan bahwa suka itu karunia Tuhan dan
duka hukuman Tuhan. Suka atau senang itu bukan tujuan hidup. Suka dan duka
adalah akibat dari perbuatan. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan itu berada di atas suka dan duka seperti yang dinyatakan dalam
Sloka Bhagavad Gita yang dikutif di atas. Suka kalau tidak dipahami dengan
mental yang tangguh dan moral yang luhur dapat membuat orang GR atau gede roso
dan mabuk.
Kekawin Nitisastra IV.19 sudah
diingatkan bahwa ada tujuh hal dapat membuat orang senang seperti berwajah
cantik atau ganteng, berilmu, kaya, keturunan bangsawan, bertenaga muda,
memiliki keberanian. Namun semuanya itu bisa membuat orang mabuk. Kalau tidak
mabuk orang itulah yang disebut orang yang utama. Peringatan Nitisastra ini
sebagai upaya untuk mengingatkan manusia agar jangan terjerembab oleh keadaan
yang menyenangkan indrianya. Dalam keadaan suka, orang sering lebih menonjolkan
ego indriawinya menerima rasa suka itu. Senang menerima suatu keberhasilan
tentunya sangat logis dan manusiawi. Namun senang itu hendaknya diterima dengan
sikap yang rational, karena dibalik senang itu ada tanggung jawab untuk
memelihara suatu yang membuat senang itu. Setidak-tidaknya mempertahankan
keberhasilan yang membuat senang itu.
Mempertanggungjawabkan suatu
keberhasilan tidaklah mudah. Karena itu senang atau suka itu jangan membuat
kita berhenti pada berpuas diri. Rasa senang tanpa dikendalikan oleh daya
spiritual dan kecerdasan intelektual dapat membuat orang kehilangan kewaspadaan.
Demikian juga halnya dengan duka atau sedih harus diterima dengan sikap yang
seimbang dengan daya spiritual dan kecerdasan intelektual. Ada kata-kata bijak
mengatakan bahwa kegagalan itu adalah awal dari kesuksesan. Tentunya tidak
setiap kegagalan awal dari kesuksesan. Amat tergantung dari cara menerima
kegagalan itu. Kalau kegagalan itu di study dan analisa secara baik. Hasil
studi dan analisa itu dijadikan dasar mengatasi kegagalan tersebut. Hal itulah
yang amat besar kemungkinannya kegagalan itu sebagai awal dari kesuksesan.
Dalam praktek bisnis menjadikan kegagalan itu sebagai awal kesuksesan disebut
dengan istilah ''mistik produktif'' yang maksudnya belajar dari kesalahan.
Konon banyak perusahan besar yang
sampai ''go international'' karena mau belajar dari kesalahan. Banyak
orang-orang besar di dunia ini karena belajar dari kesalahan dan tidak takut
menderita duka. Duka yang diterima dengan cerdas dan tenang itulah akan berbuah
kesuksesan. Duka yang diterima dengan kebodohan dapat sebagai penyebab frustasi,
kecewa, putus asa dan sejenisnya bahkan dapat mendorong orang bunuh diri.
Karena itulah Bhagawad Gita mengingatkan untuk menerima suka-duka dengan ''sama
dan dhira''. Kata ''sama'' dalam bahasa Sansekerta artinya seimbang sedangkan
kata ''dhira'' artinya teguh atau kuat mental. Orang akan seimbang dan teguh
menerima suka dan duka apabila ia menganggap suka dan duka itu kedua-duanya
sebagai karunia Tuhan. Orang tidak mungkin mendapatkan suka atau duka kalau
tidak berkarma yang menurut ajaran Karmaphala berbuah suka atau duka.
Meskipun Tuhan menurut keyakinan
agama maha kuasa tetapi tidaklah sewenang-wenang melaksanakan kemahakuasaan-Nya
itu. Tuhan sudah menciptakan hukum Karmaphala. Dalam Sarasamuscaya 74 ada
dinyatakan: mamituhwa ri hana ning karmaphala. Artinya. Percaya akan kebenaran
ajaran Karmaphala. Dalam sloka Sarasamuscaya ini dinyatakan ada tiga
pengendalian prilaku pikiran. Salah satunya adalah tidak boleh tidak yakin akan
kebenaran ajaran Karmaphala itu. Ini artinya tidak mungkin orang mendapatkan
suka atau duka kalau tidak pernah berbuat yang berpahala, suka dan duka. Tuhan
pasti selalu melindungi umatnya dari derita kalau ia tidak pernah berbuat yang
membuat duka. Misalnya kalau ia pernah membuat orang lain duka, Tuhan pasti
membiarkan orang tersebut suatu saat mendapatkan duka sebagai buah perbuatannya
membuat orang lain duka. Karena kalau tidak dibiarkan mereka memetik buah
karmanya dia akan terus dikotori oleh perbuatan membuat orang duka.
Demikian sebaliknya kalau orang
berbuat membuat orang lain senang berdasarkan Dharma tentunya Tuhan tidak
mungkin menghalangi orang tersebut memetik buah karmanya berbuat baik membuat
orang lain suka berdasarkan Dharma. Ini artinya orang kena duka itu adalah atas
karunia Tuhan untuk membersihkan yang bersangkutan dari dosanya. Paradigma
penerimaan duka seperti itu akan membuat dampak psykhologis yang baik. Seperti
tidak perlu dendam pada mereka yang membuat kita duka. Kalau memang tidak
sepantasnya kita kena duka Tuhan pasti melindungi kita seandainya ada usaha
orang lain membuat kita duka. Ini bukan berarti kita demikian pasif menyikapi
perbuatan jahat orang lain. Kalau tingkat kejahatannya sudah sampai menyentuh
ranah hukum maka hal itu wajib diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Proses hukum itu dilakukan bukan karena dendam, tetapi untuk kebaikan semua
orang.
[BPM, 020111/KW/Masyo].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar