Rabu, 11 Mei 2016

JANGAN DURHAKA PADA AYAH,IBU DAN GURU



Weda Wakya
Jangan Durhaka pada Ayah-Ibu dan Guru
Upaadhyayam pitaram ca ya
bhidruhyanti manasa
karmana va, tesam papa
bhrunahtyaavicis ‘am
nanyastasmaat paapakrcchaastiloke
(Sarasainuscaya 234).

Maksudnya: Durhaka pada ibu, ayah dan guru, baik dengan pikiran, kata-kata dan perbuatan, orang yang demikian amat besar dosanya. Lebih besar dosanya dan menggugurkan kandungan. Singkatnya, durhaka pada ibu, ayah dan guru sungguh amat besar dosanya.
Ibu melahirkan kitadari dalam kandungan yang gelap ke dunia yang terang ini seeara duniawi. Guru melahirkan kita dan kegelapan jiwa dan pikiran ke dunia terang, karena ilmu pengetahuan rohani dan duniawi. Ibu, ayah dan guru adalah pendidik dan juga pengajar. Pendidikan melatih orang dan kebiasaan buruk menuju kebiasaan baik. Pengajar membuat orang menjadi pandai berilmu. Pendidikan membuat orang menjadi pandai dan berkarakter. Karakter membuat orang jujur dan bijaksana. Kepandaian membuat orang punya penghasilan atau kekayaan. Kekayaan membuat orang lebih mampu berbuat baik. Kekayaan hanya boleh digunakan untuk berbuat baik dan benar. Menggunakan kekayaan untuk berbuat baik dan benar akan membawa orang hidup sejahtera dan bahagia di dunia dan sorga atau di alam niskala.
Demikian besarlah jasa ibu ayah dan guru dalam kehidupan ini. Ibu ayah dan guru akan mampu menjadi pendidik dan sekaligus pengajar apabila seseorang benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi ibu ayah dan guru. Bersuami Istri itu bukan sekadar media memenuhi hasrat seksual berdasarkan kodrat. Dalam Vana Parva 27.214 dinyatakan ada lima macari guru yaitu Agni yaitu sinar suci Tuhan, Atman yaltu suara hati nurani sebagai suara Sang Jiwa atau Sang Hyang Atma dalam diri manusia. Mata dan Pita yaitu ibu dan ayah sebagai guru yang pertama dan utama dalam hidup kita ini. Guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan disebut Acarya. Dalam tradisi lokal Bali dikenal adanya Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wisesa. Menurut Manawa Sastra Guru Wisesa itu bukan pejabat pemerintahan, tetapi dharma. Semua pihak wajib patuh dan hidup berjalan pada relnya dharma. Pejabat pemerintahan séperti Raaja pun wajib menjalankan pemerintahannya berdasarkan dharma atau hukum suci.
Mata Pita dan Acarya adalah ibu ayah dan guru wajib dihormati oleh putra-putrinya yang baik, betapapun keadaan beliau itu. Karena durhaka kepada tiga guru itu sangat besar dosanya. Tentunya ibu, ayah dan guru itu juga memiliki kewajiban yang sangat mulia menurut ketentuan Sastra Hindu.
Kekawin Nitisastra VIII,3 menyatakan adanya lima kewajiban orangtua atau ibu dan ayah. Di antara lima kewajibannya itu ada disebut sebagai Upadhyaya dan Anyangaskara. Upadhyaya adalah orangtua sebagai guru memiliki kewajiban untuk memberikan pengetahuan duniawi pada putra-putrinya. Pengetahuan duniawi itu adalah Guna Widya yaitu mengarahkan putra-putrinya itu agar memiliki pengetahuan keterampilan bahkan keakhlian sebagai bekal hidupnya memperoleh arjana atau rezeki. Karena orang yang memiliki rezeki itu lebih banyak memiliki peluang untuk berbuat baik kepada sesama. Kalau putra yang memiliki arjana atau rezeki itu adalah putra yang hidup berdasarkan dharma. Kalau putna itu hidup tidak berdasarkan dharma justeru rezeki itu akan memerosotkan perilaku sang putra.
Ibu dan ayah sebagai guru disebut memiliki swadharma sebagai Sang Anyangaskara artinya onang yang memiliki swadharma meningkatkan status kesucian putra-putranya sampai menjadi “dewasa”. Kata “dewasa” berasal dari kata “dewa” artinya sinar, cerah atau tenang. Hidup bersinar cerah atau tenang adalah hidup yang dicenahkan atau diterangi oleh penguasaan ilmu pengetahuan suci yang disebut jnyana. Karena itu sebagai guru ibu dan ayah dalam menjalankan swadharmanya sebagai Sang Anyangaskara mengarahkan putra-putrinya mendapatkan pendidikan kerokhanian atau tattwa adyatmika. ini artinya dalam mendidik putra-putranya ibu dan ayah memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan tentang dunia sekala dan dunia niskala. Setelah ibu dan ayah mengarahkan putranya mendapatkan pendidikan duniawi dan pendidikan rokhani maka selanjutnya lebih teknis kewajiban guru sebagai Acaryalah yang melakukannya. Karena itu ibu, ayah dan guru wajib bekerja sama dalam menciptakan generasi yang siap menerima estafet kehidupan ini untuk menjalankan dharma. Agar proses alih generasi itu berjalan mulus dan berkesinambungan para putra wajib patuh pada ibu ayah dan guru. Patuh pada ibu ayah dan guru tidak berarti menjadi penurut tanpa nalar. Tidak boleh mentang-mentang karena ibu dan ayahnya tidak jebolan perguruan tinggi atau pendidikan formalnya kurang, lalu sang putra meremehkan ibu dan ayahnya. Demikian juga guru di sekolah formal atau Pasraman wajib tetap dihormati, tidak boleh diremehkan.
Untuk mendapatkan generasi muda yang benbhakti pada ibu, ayah dan gurunya fungsi orang tua sebagai upadhyaya dan Sang Anyangaskara perlu diseimbangkan. Jangan anak-anak itu hanya dididik menjadi seorang pencari nafkah semata. Didik dan latihlah putra-putra kita sejak kecil untuk berbhakti pada orang tua dengan menampilkan contoh bahwa kita sendiri senantiasa bhakti pada kakek dan neneknya serta yang setara dengan kakek dan neneknya itu. Hal ini akan menjadi contoh bagi generasi setingkat anak kita. Demikian juga anak-anak melihat contoh dari kedua orangtuanya yang hidup saling menyayangi dan hormat menghonmatl sebagai suami istri. Kalau setiap hari anak-anak melihat contoh orang tuanya demikian, menghormati kakek dan neneknya serta hidup saling hormat menghormati di antara orang tua, maka dalam benak anak-anak akan tertanam bahwa ibu, ayah dan gurunya demikian menghormati kakek dan neneknya. Contoh itu tidak perlu banyak dikomentari. Hal itu akan disaksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Contoh positif itu akan mengendap dalam jiwa si anak dan itulah yang dianggap sesuatu yang seyogianya dilakukan oleh siapapun secara berkelanjutan dalam hidup ini (BPM, 150412, KW/Masyo)].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar