Selasa, 29 Juni 2021

ASAL USUL GUNUNG AGUNG

 

Gunung Agung adalah sebuah gunung yang terletak di daerah Bali timur tepatnya di Kabupaten Karangasem, Kecamatan Rendang, yang merupakan Gunung tertinggi di jagat Bali dan sudah terkenal diseantero jagat karena dilereng bagian barat daya berdiri megah Pura Besakih yang juga merupakan Pura terbesar di Gumi Bali.

Dalam lontar Raja Purana Sesana disebutkan suatu ketika Dewa Hyang Pasupati mencabut Puncak Gunung Mahameru di  India,kemudian menaruhnya di Pulau .Jawa agar Jawa Dwipa menjadi stabil,puncak Gunung Semeru yang diambil itu setelah diletakan di tanah Jawa dan menjadilah Jawa Dwipa tenang dan kemudian diberi nama  Gunung Semeru,sebagai gunung tertinggi di Jawa Dwipa.

Bali Dwipa pada saat itu keadaannya juga masih tidak stabil ibaratnya bagaikan perahu tanpa nakhoda, mengambang dilautan kesana kemari goyang tidak tentu arah. Pada saat itu di Bali Dwipa hanya terdapat Gunung Lempuyang dibagian Timur Bali,Gunung Andakasa di sebelah Selatan,Gunung Batukaru di tepi barat dan di posisi utara ada Gunung Pucak Mangu.  

Melihat kondisi seperti itu dan untuk menjadikan Bali Dwipa menjadi stabil, Dewa Pasupati kemudian memerintahkan para dewa untuk memindahkan pucak semeru ke Bali Dwipa, kemudian Gunung Semeru diangkat dan di taruh di punggung Bedawang Nala lalu Naga Ananta Boga,Naga Taksaka dan Naga Basuki mengikat punggungnya gunung dan puncak Gunung  Semeru berhasil diterbangkan ke Bali Dwipa. Pada saat di terbangkan ke Bali Dwipa ketika akan diturunkan sempat ada bongkahan kecil gunung tersebut terjatuh dan kini bongkahan dimaksud  menjadi Gunug  Batur     Akhirnya puncak Gunung Semeru tersebut  ditempatkan dibagian tumur Bali Dwipa diberi nama  Gunung  Tohlangkir yang kini terkenal dengan nama Gunung  Agung.

Setelah Gunung Tohlangkir berdiri gagah,maka keadaan Bali Dwipa menjadi stabil, kemudian Dewa Pasupati di Semeru memerintahkan 3 orang putranya berstana di Bali Dwipa, untuk menjadi sungngungan raja dan rakyat Bali. Putra beliau adalah Hyang Gnijaya ditugaskan berstana di Gunung Lempuyang, Hyang Putranjaya berstana di Gunung Agung dan Dewi Danuh berstana di Gunung Batur,maka sejak saat itu di Bali Dwipa sudah ada Trilingga Giri (3 stana gunung), agar menjadi lebih sempurna dan bali kertha maka Dewa Pasupati memerintahkan lagi putra-putranya yang lain berstana di Bali Dwipa yakni Hyang Tumuwuh menjaga di G.Watukaru ,HYang Manik Gumawang di Pucak mangu/G Beratan, Hyang Manik Galang di Pejeng dan Hyang Tugu di Gunung Andakasa dan kemudian Naga Basuki ditugaskan mendampingi Hyang Putranjaya di Gunung Tohlangkir. Sejak saat itu  di Bali kemudian di kenal  adanya Sapta Lingga Sari yakni tujuh stana yang selaras dengan konsep ajaran paweda sebagai stana Putra-putri  Dewa Pasupati

Oleh karena itu sampai saat ini G. Agng dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa,karenanya masyarakat Bali menjadikan gunung ini sebagai tempat keramat yang disucikan/disakralkan. Karena Gunung Agung juga dijadikan objek pendakian,maka bagi mereka yang akan mendaki Gunung Agung hendaknya menyucikan diri,pikiran dan perbuatan dan tidak boleh berprilaku kotor atau sembarangan,karena akan berakibat patal bagi yang melanggarnya.

Demikian kisah asal-usul Gunung Agung yang menjadi kebanggaan krama Bali dan dipercaya sebagai tempat suci sekaligus mohon anugrah untuk keselamatan dan kesejahtraan gumi Bali.(manixs).

Senin, 28 Juni 2021

TRANSFORMASI KARMA

Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Dr.Adi Surya Pradnya,S.Ag,M.Fil.H dalam sebuah ceramahnya di TV One dalam acara Damai Indonesiaku dengan topik Transformasi Karma.

Sesungguhnya ajaran Hindu yang dilandasi dengan Panca Sradha yaitu lima  keyakinan(sradha) yang terdiri dari:

1.        1. Widhi/Brahman Sradha yakni keyakinan tentang keberadaan Ida Hyang Widhi Waca/Parama      Atman.

2.       2.Atma Sradha percaya dengan adanya Atma/percikan kecil dari Parama Atma.

3.       3.Karma Phala Sradha,percaya dengan Hukum Karma Phala/Hukum Sebab Akibat.

4.       4.Phunarbawa/Reinkarnaasi Sradha,percaya dengan adanya kelahiran berulang.

5.       5.Moksa Sradha,yakin dengan adanya moksa/manunggaling atma dengan Parama Atma.

Dalam kontek Sradha diatas, kalau  diurut secara kronologisnya bahwa Tuhan/Brahman menciptakan makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan dan manusia, masing masing dengan anugrah kekuatan Beliau. Tumbuhan dengan Eka Premana(bayu) yaitu hanya bisa “tumbuh” kekuatannya adalah Stawana, pada hewan Beliau ciptakan lebih sempurna karena disamping tumbuh juga bisa bergerak dan bersuara (Dwi Premana/bayu dan sabda) sehingga kekuatan beliau disebut Jenggama,sedangkan pada manusia diciptakan sebagai makluk yang paling sempurna lengkap dengan Tri Premana yaitu bayu,sabda dan idep dengan percikan beliau yang disebut Atma.

Setelah Atma memasuki Panca Maha Bhuta manusia,maka manusia itu  lahir,hidup hingga meninggal ,ia melakukan Karma meliputi karma berfikir,berucap dan berprilaku,hasilnya hanya dua yaitu Karma Baik(Subakarma) dan Karma Buruk(Asubakarma),pada hakekatnya semua itu akan mendapat Pahala atau hasilnya masing-masing.

Dalam  Kitab Slokantara 68 disebutkan “Karma phala ngaran ika phalaning gawe hala hayu” karma phala itu adalah hasil perbuatan buruk baik. Tentunya yang dilakukan oleh masing-masing orang dan akan diterimakan oleh orang yang melakukan,bisa diterima langsung dalam kehidupan sekarang,masa lalu maupun masa yang akan datang(dikehidupan nanti).

Phala dari karma yang lebih banyak baiknya masuk surga yang buruk masuk neraka,maka dalam hukum reinkarnasi/phunarbawa dikatakan ada atma dari Neraka Syuta dan Swarga Syuta sehingga ada manusia yang hidupnya makmur bahagia dan ada manusia yang penuh penderitaan.

Karma yang super baik sesuai dengan ajaran Tuhan maka ia akan menyatu dengan Sang Sangkan Paraning Dumadi yaitu Brahman yang disebut dengan Moksa sebagai tujuan akhir Agama Hindu yakni Moksartham Jagatita ya ca iti Dharma.

Selanjutnya dalam bahasan Dr.Surya dalam kaitan dengan transformasi karma,bahwa kita diciptakan Tuhan dalam hidup ini tentu berkarma baik dan buruk,ketika kita berkarma buruk maka jelas akan dibenci oleh manusia lainnya,jangankan karma buruk,karma baikpun tanpa sebab kita bisa dimusuhi oleh orang lain,ini efek dari karma masa lalu (sancita karma phala). Maka disinilah peran penting kita dalam mengelola hati baik berupa  keiklasan maupun kesabaran hati,kita dibenci orang maka janganlah balik membenci,tetapi merespon dengan kesadaran,keilasan dan kesabaran bahwa itu adalah efek dari karma kita sendiri, utamanya karma buruk masa lalu,maka kita terima dengan lapang dada dan mendoakan yang baik kepada mereka yang membenci kita,tidak mudah memang ini perlu latihan dan pembiasaan. Kalau bisa dilakukan secara kontinu maka papa,mala,klesa kita akan mengalir kepada mereka atau karma buruk kita akan mengalir kemereka yang membenci kita,maka semasih diberi waktu berbuat baiklah sebisa mungkin untuk mengurangi karma buruk kita,ibaratnya sebuah gelas yang berisi air keruh,apabila setiap saat diisi air bening maka lama-lama air di gelas itu akan bersih. Nah inilah cara kita mentransformasi karma buruk sehingga dosa-dosa kita bisa dihapus. Dasar  hukumnya jelas seperti dalam Lontar Lubdaka bagaimana si Lubdaka sebagai Ni Sada(pemburu) banyak binatang yang dibunuh tentu banyak dosa,sehingga dalam melam Siwalatri dia merenungi diri dengan Upawasa,Jagra/melek memetik 108 daun bilwa,semua itu adalah simbolisasi bagaimana kita melek/paham terhadap ajaran dharma dengan 108 purana,weda dan sebagainya,kalau itu bisa dilakukan niscaya dosa kita akan terampuni.

Contoh lain seperti Bhagawan Biasa yang dahulunya juga seorang pendosa,perampok dan sebagainya, beliau dengan kesadaran dan kemampuannya dalam berliterasi sastra beliau bisa menulis wejangan dharma yang abadi dalam bentuk Itihasa sehingga menjadi tuntunan umat manusia di dunia dan relevan sepanjang masa.

Nah,pertanyaannya,bagaimana kita bisa melakukan itu ?. Dalam Kitab Sarasamuscaya disebutkan “Apan iking manadi wong,uttama juga iya,nimitaning mangkana wenang iya tumulung awaknia ring Samsara maka sedana Subakarma,ika kuttamanikang manadi wong” artinya karena kita menjadi manusia adalah makluk utama,oleh karenanya ia dapat menolong dirinya dari  hukum Samsara/Phunarbawa dengan sarana Subakarma/perbuatan baik. Subakarma itu banyak jalannya ,namun secara sederhana dalam lambang dharma kita yaitu Swastika yang asalnya dari Tampak Dara,mengandung makna yang mendalam yaitu kalau tampakang(kerjakan) baru daar(makan) artinya makanlah makanan yang berasal dari kerja yang halal. Tampak dara itu juga mengandung makna positif/kebaikan,kalau kita perhatikan gambar tampakdara itu ada garis silang,ujungnya ada menunjuk keatas,samping kanan kiri dan kebawah. Filosfinya garis yang menunjuk keatas(maknanya Parhyangan) kita agar selalu eling dan sembah bakti dengan Ida Hyang Widhi Wasa dan para dewata dewati Kawitan leluhur semua,baik melalui doa,sembahyang,beryadnya,dana punia,membangun pura,memelihara kesucian pura dan lain-lainnya.

Garis kesamping kanan dan kiri sebagai simbul Pawongan,yang kekiri bisa dilakukan dengan bersosialisasi dan berpartisipasi kemasyarakat,baik melalui kegiatan suka-duka,ngayah/ pengabdian, membantu/menyumbang mereka yang membutuhkan,kepedulian terhadap krama yang menderita dsb. Sedangkan garis yang ke kanan mengandung maksud bagaimana kita berkeluarga,mendidik anak, mengawasi,menyayangi anak/keluarga,saling menjaga,Memenyama braya termasuk keluarga besar dadia, karena pada akhirnya kita akan bersatu di paibon/Dewa Hyang,tidak dapat dipungkiri,kaya miskin,sakti, dongo, kita akan disatukan disana,jangan ego saat kita mampu dan sukses serta sehat,ingat siklus itu akan datang pada saatnya sesuai rta/hukum alam tidak bisa dipungkiri cepat atau lambat pasti datang kepada mereka yang mebuatnya. Mari kurangi ego,ingat pada leluhur,beliau akan sangat sedih apabila warih-warihnya tidak terkendali dari kemudoratan dan kemurtadan dan jangan wariskan dendam pada keturunan sehingga menjadi rantai kebencian dan permusuhan sepanjang masa. Putuslah rantai itu agar kita bisa melakukan transformasi karma,sehingga kita bisa mempunya karma baik sehingga jiwa-jiwa yang kotor seperti gelas keruh tadi semakin lama menjadi jiwa-jiwa yang semakin bersih.

Selanjutnya garis kebawah (Palemahan) itu mengandung makna bagaimana kita bertransformasi karma dengan lingkungan alam sekitar,mulai dari rumah/pekarangan, tegalan,sawah,binatang peliharaan,bhuta kala dan sejenisnya. Hal sederhana yang dapat dilakukan,menjaga kebersihan dan keindahan rumah,tempat tidur,dapur,pekarangan,menata taman,memberi kasih sayang pada binatang peliharaan,mengelola lahan tegalan sawah agar subur dan sejenisnya serta tidak lupa dengan yadnya sesa sebelum makan.

Nah semeton demikianlah uraian tentang Transformasi Karma  sebagai hal menarik yang dapat disimak dalam dharma wecana DR.Adi Surya Pradnya,terimakasih semoga bermanfaat (Manixs).

Minggu, 27 Juni 2021

PURA PRAJAPATI DI HULUNING SETRA

 

Pada setiap setra (kuburan) di Bali biasanya terdapat bangunan suci di bagian hulunya yang disebut Pura Prajapati atau Pelinggih Prajapati. Selain sebagai penstanaan ista dewata, Pura Prajapati juga merupakan sumber energi maha dahsyat, baik untuk peleburan maupun penciptaan dan pemeliharaan.

Mengenai keberadaan Pura Prajapati memang terdapat dalam berbagai sumber yang uraiannya sedikit berbeda-beda, namun semuanya menyiratkan sebagai bentuk manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang dengan fungsi khususnya bersthana di huluning setra. Penyebutan nama dari pura ini pun beragam, mulai dari menyebutnya dengan Pura Prajapati, Mrajapati, dan di dalam sebuah lontar disebut Rajapati. Sehubungan dengan itu konsep penataan Setra di Desa Adat Tegenan adalah Setra Gandamayu Nganutin Karang Awak,artinya suatu tempat mengharumkan jenazah yang zona tempat penguburannya sesuai dengan bhuana alit(tubuh kita), sehingga pembagian tempat penguburannya sesuai dengan bentuk tubuh manusia itu sendiri,yakni dibagian utara adalah pintu masuk/gerbang berupa candi bentar untuk masuk ke kuburan,itu ibaratnya kedua telapak kaki manusia, disebelah baratnya ada pelinggih Sang Hyang Brahma Bherawi, masuk keselatan dibagian utara adalah tempat penguburan balita(rare dan keruron) sehingga disebut “Setra Rare” posisinya di betis, posisi di paha (keselatannya) adalah “Setra Bajang”,selanjutnya disebelah barat pelinggih tengahing setra(Bhetari Durga) adalah “Setra Salupati/Salah-Ulah pati” terletak dibagian bokong/ pantat, lanjut dibagian tengah ibaratnya dibagian badan adalah ‘Setra Lingsir” tempat penguburan orang dewasa(grahasta), sedangkan keselatan lagi ibarat bagian lehernya adalah “Setra Suci” adalah tempat penguburan orang yang sudah me-ekajati/pemangku di ujung selatannya ibarat bagian kepala adalah “Setra Pitara” yatu tempat penguburan sekah pengawak saat upacara ngaben. Di hulunya sebagai siwa dwara adalah Pura pelinggih Sang Hyang Prajapati.

Lebih lanjut dalam lontar Tutur Gong Besi disebutkan bahwa Ida Sang Hyang Widhi dalam prabawa Beliau sebagai dewa ,memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada awalnya ketika Ida Sang Hyang Widhi bersthana di Pura Dalem Beliau bergelar Dalem Kawi, kemudian ketika pindah bersthana di Pura Puseh Beliau diberi gelar  Sang Hyang Triodasa Sakti. Demikian selanjutnya pindah ke Pura Desa Beliau bergelar Sang Hyang Tri Upasadana, di Pura Baleagung Beliau diberi gelar Sang Hyang Bhagawati, selanjutnya pindah ke perempatan jalan dengan gelar Sang Hyang Catur Bhuwana, dan ketika bersthana di pertigaan jalan bergelar Sang Hyang Sapuhjagat, kemudian dari pertigaan pindah ke setra agung dengan gelar Bhatari Durgha, kemudian dari setra agung pindah ke pemuhunan setra diberi gelar Sang Hyang Brahma Bherawi, kemudian dari pemu-hunan setra pindah ke penghuluning setra Beliau bergelar Sang Hyang Prajapati. Seterusnya, dari huluning setra pindah ke laut dengan gelar Sang Hyang Mutering Bhuwana, dari laut pergi ke langit dengan nama Sang Hyang  Taskarapati, pergi dari langit menuju Gunung Agung dengan gelar Sang Hyang Giri Putri, pergi ke Gunung Lebah bernama Dewi Danu, pergi dari Gunung Lebah ke pancakatirtha (pancuran) Beliau bergelar Dewi Gayatri dan seterusnya.

Sementara itu keberadaan dan fungsi Pura Prajapati menurut Yama Purana Tattwa: kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak disthanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya, maka sang roh akan menjadi apa yang disebut atma diyadiyu dan akan gentayangan mengganggu kehidupan di alam nyata.  Mensthanakan roh yang masih berstatus Preta tersebut di Pura Prajapati dengan tirtha Pengentas Tanem, dan pada saatnya nanti bila sudah diaben akan dilanjutkan dengan tirtha pengentas pemuput. Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka, karena itu perlu diupacarai ngaben.

Pura Prajapati sebagai bagian dari Pura Kahyangan Tiga dibangun di hulun setra berbentuk Padma/gedong dan sebuah bentuk bebaturan stana  Sedahan Setra. Disebutkan pada sebuah sumber bahwa  Pura Prajapati sebagai tempat pemujaan Dewi Durgha dan juga sebagai sthana Sang Hyang Panca  Maha Bhuta sebagai unsur-unsur pembentuk alam semesta ini.

Selanjutnya dalam lontar Anda Bhuwana disebutkan Bhatara Siwa bersabda kepada saktiNya, Dewi Uma sebagai berikut. “Duhai Hyang Bhatari, kalau demikian permintaan Bhatari lebih baik Bhatari menetap terus di dunia, semogalah Bhatari dipuja oleh seluruh dunia. Kalau Bhatari berada di timur dipuja oleh orang di Pura Dalem Dhurgalaya namanya, Bhatari bergelar Hyang Bhagavati. Kalau berada di selatan, Bhatari distanakan, dipuja oleh banyak orang di Dalem Cungkub, Bhatari bergelar Dhurgadewati. Kalau Bhatari berada di barat, berstana di Pura Dalem Sunya, bergelar Hyang Laksmi-dewati. Kalau Bhatari berada di utara, berstana di Pura Dalem Kedewatan, bergelar Hyang Nini Dewati. Kalau di tengah-tengah distanakan di Pura Dalem Darmawi-sesa, Bhatari bergelar Hyang Nini Dewati. Dipuja oleh semua orang, tiada lain Bhatarilah yang menentukan mati hidupnya semua makhluk.

Setelah selesai demikian, di kemudian hari setelah Bhatari berstana di Pura Dalem Kedewatan, kalau Bhatari ingin bertemu denganKu, pada waktu siang atau malam, perintahkanlah semua manusia membangun “Prajapati” yang merupakan tempatKu bersemayam dengan Bhatari pada waktu Aku datang. Saat kedatanganKu nanti, Aku berbadankan Dhurgakala serta diiringi oleh para dewata dan rsigana, dan semua dewa berbadankan bhuta dan dengen beraneka rupa wujudnya: Bhuta Sweta, Bhuta Rakta, Bhuta Jenar, Bhuta Ireng, Bhuta Mancawarna, Bhuta Ulu Singha, Bhuta Ulu Gajah, Bhuta Brahma, Bhuta Yaksa, Bhuta Siwagni, Bhuta Udug Basur, ….”

Berdasarkan namanya, Prajapati, yaitu terdiri dari kata praja (petugas/pejabat), dan pati (mati), sehingga Pura Prajapati dapat dikatakan sebagai stana dewata yang berwenang mengurusi kematian umat manusia. Dalam Hindu, dewa kematian adalah Yamadipati, dan otoritas Yamadipati sebagai penguasa kematian di Bali kurang populer sebagai figur yang dipuja dalam suatu tempat suci, kecuali dalam stawa atau mantra-mantra.          Nampaknya fungsi Yamadipati sebagai penguasa maut di Bali telah disandangkan pada Dewi Durgha (lontar Anda Bhuwana) atau Sang Hyang Prajapati (lontar Gong Besi) dan stananya di Pura Prajapati yang terletak di huluning setra.

Oleh karena dalam lontar Anda Bhuwana disebutkan Dewi Uma yang turun ke dunia menjadi Durgha diberi kuasa oleh Siwa untuk menentukan hidup matinya manusia, maka Pura Prajapati sebagai sthana Beliau menjadi ruang sakral pintu penyeberangan roh ke alam niskala. Berbagai energi spiritual bersumber di Pura Prajapati, mulai dari energi peleburan yang dieja-wantahkan dalam berbagai bentuk penyakit, maupun energi pemeliharaan, dimana umat Hindu memohon anugerah kesehatan dan keselamatan agar dijauhkan dari gangguan bhuta, pisaca, kala, dan dengen. Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan Pura Prajapati terkesan lebih angker dibandingkan dengan pura-pura lainnya, mengingat keberadaan Bhatari Dhurga bersama pengiringnya serta para roh-roh yang belum disucikan (preta) di tempat tersebut.

Meskipun demikian, dalam fungsinya sehari-hari, Pura Prajapati memiliki dua fungsi, yaitu pemujaan Brahma Prajapati dan pemujaan Dhurga Dewi. Pemujaan kepada Brahma Prajapati dilakukan saat piodalan di Pura tersebut  yang ditujukan kepada Dewa Brahma yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal ini dapat diketahui berdasarkan stawa para pemangku yang diucapkan saat piodalan di Pura Prajapati bersamaan dengan Pr.Dalem. Adapun mantra di Pura Prajapati saat piodalan atau persembahyangan: Om Brahma Prajapa-tih, Sresthah swayambhur warado guruh, Padmayonis catur waktro, Brahma sakalam ucyate. Artinya: Ya Tuhan dalam wujudMu sebagai Brahma Prajapati, pencipta semua makhluk, maha mulia, yang menjadikan diriNya sendiri, pemberi anugerah mahaguru, lahir dari bunga teratai, memiliki empat wajah dalam satu badan, maha sempurna, penuh rahasia, Hyang Brahma Maha Agung.

Sementara itu apabila diadakan upacara pengabenan, maka mantra-mantra yang digunakan pun berbeda, yaitu ditujukan kepada Yama, Dhurga, dan sebagainya yang berkaitan dengan dewa-dewa kematian yang bertujuan menolong roh bersangkutan dapat segera menyeberang kealam barunya.    
Pemuliaan Brahma sebagai Prajapati (Pencipta), dan Dhurga sebagai Prajapati (petugas kematian) dalam satu tempat suci yang sama nampaknya berkaitan dengan ikatan antara Dhurga dengan Brahma. Dalam cerita turunnya Dewi Uma ke bumi menjadi Dhurga disebut-kan, saat Dewi Uma dikutuk turun ke dunia dan bersthana di setra, maka Beliau mengalami kelaparan karena tiada yang bisa disantap. Atas kesulitan tersebut Dhurga kemudian memohon anugerah kepada Dewa Brahma, agar diberikan anugerah. Dewa Brahma lantas mengizinkan Dhurga untuk menjadikan  manusia yang hidup di jalan adharma sebagai santapannya. Brahma kemudian menganugerahkan berbagai kekuatan gaib penghancur dan penebar berbagai penyakit yang dapat digunakan oleh Dhurga untuk menghancurkan orang-orang adharma. Demikian juga, karena pada hakikatnya umat manusia tunduk pada hukum kematian, Dhurga yang diberi wewenang menyebarkan berbagai penyakit dari berbagai penjuru untuk melebur badan manusia, agar pada masa yang telah ditentukan rohnya dapat terbebas dari belenggu badan. Demikianlah keangkeran dan kedasyatan Hyang Prajapati penguasa alam kematian, karenanya marilah berbakti kepadaNYA.
(N. Putrawan/manixs)