Hujan turun rintik-rintik malam itu. Udara di Desa Tegenan terasa lebih dingin dari biasanya. Malam Kajeng Kliwon Uwudan memang dikenal sebagai malam paling rawan, malam ketika para bhuta kala berkeliaran, mencari celah di antara dunia manusia. Tapi tidak semua orang percaya. Termasuk Wira.
Ia baru
saja pulang dari Denpasar, membawa rasa kota yang mulai mengikis keyakinan
lama. Bagi Wira, upacara Mecaru di Pura Tulak Tanggul hanyalah serangkaian
simbol yang terlalu dilebih-lebihkan. Ia bahkan tak menghadiri upacara yang
dipimpin oleh Jero Dewi tadi sore.
"Ah,
pura tua. Dulu saja hilang tertimbun lahar, sekarang dibersihkan, langsung
dipuja-puja lagi," gumamnya sambil melangkah ke arah pura yang terletak di
ujung selatan desa.
Langit mendung menggantung seperti awan maut.
Cahaya kilat sesekali membelah langit, dan setiap kali itu terjadi, Wira
melihat bayangan di balik pelinggih. Ia tertarik. Penasaran. Barong Bangkung
itu baru saja di-stanakan kembali — katanya, Ratu Gde Sakti Tanggul Gumi yang
menjaga desa dari gangguan roh jahat.
Ia masuk
ke pelataran pura tanpa menghaturkan pejati.
Suasana
terasa... salah.
Angin
berhenti. Rintik hujan tak lagi menyentuh tanah. Sunyi. Lalu...
Gong!
Suara
gamelan terdengar dari arah jeroan pura, padahal tak ada siapa pun. Lonceng-lonceng kecil di kepala Barong Bangkung
tiba-tiba bergetar sendiri. Sosoknya tampak lebih besar dari yang Wira lihat
siang tadi. Mata barong itu memerah, gigi-gigi besar mencuat, dan mulutnya
perlahan membuka.
Wira
menahan napas. Ia mencoba berbalik, tapi tubuhnya seolah terpaku. Matanya tak
bisa lepas dari tatapan Barong itu.
Tiba-tiba...
"Ngueekk... Ngueekkk..."
Suara babi hutan terdengar dari balik hutan
bambu. Bukan satu. Banyak. Mereka
mendekat. Nafas Wira tercekat. Dari kegelapan, muncul sosok-sosok bayangan,
bukan manusia, bukan juga hewan. Seperti bentuk
setengah jadi, berkepala anjing, bertangan manusia, dan bertaring tajam. Wira
ingin berteriak — tapi suaranya lenyap.
Barong Bangkung itu bergerak. Ya, benar-benar
bergerak. Tanpa ada yang menuntun, ia melangkah ke arah Wira. Setiap langkah
membuat tanah bergetar halus. Suara lonceng semakin nyaring.
"Jangan datang ke sini tanpa ijin..." suara berat, seperti datang dari dalam tanah,
menggema di kepalanya.
Tiba-tiba...
gelap.
Wira
ditemukan keesokan paginya di jaba pura. Tubuhnya dingin, kulitnya pucat.
Matanya melotot, mulutnya komat-kamit menyebut satu nama:
"Sanghyang... Suratma..."
Ia tak
bisa bicara selama tiga hari. Jero Dewi harus menghaturkan banten dan melakukan
penglukatan agar rohnya kembali stabil. Barulah Wira bercerita — bahwa malam
itu ia melihat "dunia lain", dunia di mana para bhuta dan lelembut
mendiami sela-sela pura, menunggu manusia yang lupa adat dan lupa sopan santun.
Sejak saat
itu, tak ada yang berani masuk ke Pura Tulak Tanggul tanpa pejati. Dan setiap
malam Kajeng Kliwon, warga selalu menghaturkan banten kepada Barong Bangkung —
Ratu Gde Sakti Tanggul Gumi. Karena semua
tahu, beliau bukan sekadar pelindung...(manixs)