Malam itu
langit Tegenan gelap. Hanya bulan sabit yang
menggantung malu di antara awan. Angin dari arah Telaga Waja berembus
dingin membawa aroma lembab dari sungai dan bebatuan basah. Di tepian utara
aliran sungai itu, tersembunyi sebuah goa suci yang tak bisa sembarang orang mendatanginya—Goa Gala Gala Pura Langse, tempat bersemayamnya dua roh agung
dari alam niskala.
Ida Bagus Wiratha, seorang pemangku dari desa sebelah, telah bermimpi tiga malam
berturut-turut: seberkas cahaya emas melingkar-lingkar di dalam air, lalu
muncul suara halus memanggilnya, “Sapa raga, sucikan diri. Buka jalan
leluhur...”
Malam ini malam Jumat kajeng Klion enyitan, ia datang seorang diri. Membawa
sesajen bunga cempaka lengkap dengan pejatinya, air kumkuman, dan dupa wangi wangian, Ia menapaki jalan
licin menuju mulut goa, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tetapi karena
aura goa yang pekat, berat... seakan ada mata tak kasat memandang dari balik
kegelapan.
Ia mulai masuk kedalam goa sembari mengucapkan Om Swastyastu, kedatangannya disambut suara gemericik air seperti ombak
kecil ,lalu dengan sesaji pangkonan petak-jenar, pesegehan alit dan doa sederhana, ia kemudian menyembah lalu mengambil air suci itu. Airnya
bening namun terasa hidup, mengalir dari celah batu ke dalam kolam alami, setelah itu ia keluar dari goa. Sebelum melakukan apapun, ia melukat di jaba pura—dengan memerciki dirinya dengan air suci tadi,lalu membiarkan air
menyentuh ubun-ubunnya, pundaknya, dadanya. Setiap tetes air seolah membawa
bisikan mantra yang tak ia mengerti maknanya.
Tak jauh dari tirta suci, dinding goa tampak
hitam berkilau. Ia mengusapnya dengan tangan, meninggalkan serbuk hitam lembut
di telapak tangannya. Di desanya, serbuk ini diyakini bisa menyembuhkan penyakit kulit
menahun—kulit melepuh, borok, hingga penyakit yang tak ditemukan penyebabnya oleh
dukun maupun para dokter.
Namun
malam ini bukan untuk meminta kesembuhan, melainkan membuka jalan untuk
‘nangkilang’ leluhur. Dalam tradisi Banjar Adat Tegenan Kelod, sebelum
seseorang dapat menyampaikan doa atau maksud nangkilang leluhur
di Pura Dalem Puri, ia semestinya terlebih dahulu harus menghadap dan menyucikan beliau roh para leluhur di Pura Langse ini—sebagai gerbang antara sekala dan niskala.
Wiratha
menaruh sesajen di atas batu datar, lalu mulai melantunkan kidung kuno.
Seketika, udara di dalam goa berubah. Api dupa diatas banten sesaji didepan pelinggih menari tak menentu, air suci bergetar, dan dari kejauhan terdengar suara
mendesis—panjang, bergema.
Dari sudut goa yang gelap, muncul kilauan keemasan. Ular besar, sisiknya seperti emas cair, melata tenang menuju altar. Matanya tak merah, namun bersinar hangat, menyelidik langsung ke dalam batin Wiratha. Ia tahu... itulah Bhetari Ratu Mas Sri Amertha.
Tak lama, tanah sedikit bergetar, batu-batu kecil
berderak. Asap dupa mengental, lalu dari balik kabut, naga besar bermata
hitam berkilau muncul, tubuhnya memenuhi separuh goa. Nafasnya berat namun
penuh keagungan Beliaulah Bhetara Antha Boga.
Keduanya berdiam sejenak, lalu ular emas membuka
mulut, mengeluarkan suara tak seperti suara manusia, namun langsung menggema di
benak Wiratha:
“Sucikan maksudmu. Bersihkan niatmu. Maka leluhur akan menjawab.”
Wirata menunduk dalam-dalam,kemudian tak terasa air matanya jatuh
menetesi natar pemujaan . Ia tahu,
malam ini ia tidak hanya membuka jalan untuk leluhurnya, tapi juga membuka
pintu bagi dirinya sendiri—menuju kehidupan yang lebih bersih, lebih selaras dengan semesta yang agung ciptaan Sang Murbeng Dumadi.
Pagi
menjelang, goa kembali sunyi. Wiratha pamit dengan wajah basah tapi tenang. Di belakangnya, dinding goa berkilau hitam, dan berhembus angin suci mengalir merasuk kerelung hati membawa kedamaian jiwa. Tak ada yang tahu pertemuan suci dimalam yang merindingkan bulu kuduk itu, kecuali alam, leluhur, dan
niskala.
Sejak malam itu, Pura Langse tidak hanya dikenal sebagai tempat melukat, tapi juga sebagai pintu hidup kedua—bagi siapa saja yang benar-benar ingin bertemu dengan dirinya sendiri, dan dengan roh leluhurnya.(Manixs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar