Senin, 26 Mei 2025

Kajeng Kliwon Uwudan,Sasih Kenem di Pura Tulak Tanggul

Hujan turun rintik-rintik malam itu. Udara di Desa Tegenan terasa lebih dingin dari biasanya. Malam Kajeng Kliwon Uwudan memang dikenal sebagai malam paling rawan, malam ketika para bhuta kala berkeliaran, mencari celah di antara dunia manusia. Tapi tidak semua orang percaya. Termasuk Wira.

Ia baru saja pulang dari Denpasar, membawa rasa kota yang mulai mengikis keyakinan lama. Bagi Wira, upacara Mecaru di Pura Tulak Tanggul hanyalah serangkaian simbol yang terlalu dilebih-lebihkan. Ia bahkan tak menghadiri upacara yang dipimpin oleh Jero Dewi tadi sore.

"Ah, pura tua. Dulu saja hilang tertimbun lahar, sekarang dibersihkan, langsung dipuja-puja lagi," gumamnya sambil melangkah ke arah pura yang terletak di ujung selatan desa.

Langit mendung menggantung seperti awan maut. Cahaya kilat sesekali membelah langit, dan setiap kali itu terjadi, Wira melihat bayangan di balik pelinggih. Ia tertarik. Penasaran. Barong Bangkung itu baru saja di-stanakan kembali — katanya, Ratu Gde Sakti Tanggul Gumi yang menjaga desa dari gangguan roh jahat.

Ia masuk ke pelataran pura tanpa menghaturkan pejati.

Suasana terasa... salah.

Angin berhenti. Rintik hujan tak lagi menyentuh tanah. Sunyi. Lalu...

Gong!

Suara gamelan terdengar dari arah jeroan pura, padahal tak ada siapa pun. Lonceng-lonceng kecil di kepala Barong Bangkung tiba-tiba bergetar sendiri. Sosoknya tampak lebih besar dari yang Wira lihat siang tadi. Mata barong itu memerah, gigi-gigi besar mencuat, dan mulutnya perlahan membuka.

Wira menahan napas. Ia mencoba berbalik, tapi tubuhnya seolah terpaku. Matanya tak bisa lepas dari tatapan Barong itu.

Tiba-tiba... "Ngueekk... Ngueekkk..."

Suara babi hutan terdengar dari balik hutan bambu. Bukan satu. Banyak. Mereka mendekat. Nafas Wira tercekat. Dari kegelapan, muncul sosok-sosok bayangan, bukan manusia, bukan juga hewan. Seperti bentuk setengah jadi, berkepala anjing, bertangan manusia, dan bertaring tajam. Wira ingin berteriak — tapi suaranya lenyap.

Barong Bangkung itu bergerak. Ya, benar-benar bergerak. Tanpa ada yang menuntun, ia melangkah ke arah Wira. Setiap langkah membuat tanah bergetar halus. Suara lonceng semakin nyaring.

"Jangan datang ke sini tanpa ijin..." suara berat, seperti datang dari dalam tanah, menggema di kepalanya.

Tiba-tiba... gelap.

Wira ditemukan keesokan paginya di jaba pura. Tubuhnya dingin, kulitnya pucat. Matanya melotot, mulutnya komat-kamit menyebut satu nama:

"Sanghyang... Suratma..."

Ia tak bisa bicara selama tiga hari. Jero Dewi harus menghaturkan banten dan melakukan penglukatan agar rohnya kembali stabil. Barulah Wira bercerita — bahwa malam itu ia melihat "dunia lain", dunia di mana para bhuta dan lelembut mendiami sela-sela pura, menunggu manusia yang lupa adat dan lupa sopan santun.

Sejak saat itu, tak ada yang berani masuk ke Pura Tulak Tanggul tanpa pejati. Dan setiap malam Kajeng Kliwon, warga selalu menghaturkan banten kepada Barong Bangkung — Ratu Gde Sakti Tanggul Gumi. Karena semua tahu, beliau bukan sekadar pelindung...(manixs)

Bhetari Durga Dewi

Ratu Gde Sakti Tanggul Gumi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar