Malam itu
adalah Buda Wage, malam yang dipercaya banyak orang sebagai malam keramat.
Seharian sebelumnya, upacara Melaspas baru saja usai di Pura Gua Gala
Gala, sebuah pura langka yang berdiri di antara tebing dan rimbunnya pepohonan.
Penduduk sekitar enggan
melintas di sana saat malam tiba, apalagi seusai upacara besar. Konon, energi
spiritual pura itu sedang dalam puncaknya—sensitif, mudah terganggu.
Namun, seorang
penekun spiritual yang dikenal dengan nama Jero Sewa justru datang memedek
di malam itu. Sekitar
pukul sebelas malam, ia melangkah perlahan menuju pelataran depan gua. Di
tangannya, ia membawa sepasang canang wangi, sekuntum bunga, dupa, dan
sebuah pasegehan alit sebagai persembahan.
Ia duduk bersila di hadapan dua patung penjaga gua—naga dan ular raksasa
dari paras. Patung itu seolah hidup, tatapan mata mereka dingin dan tajam,
menyorot langsung ke arah Jero Sewa. Tidak seperti biasanya, suasana pura malam
itu terasa berat, menekan, dan mencekam. Tapi Jero Sewa
tidak gentar.
Ia tidak
datang untuk sembahyang biasa. Diam-diam, niatnya adalah untuk kembali mencoba
“mengambil” sesuatu dari dalam gua. Batu. Bukan sembarang batu, melainkan
batu-batu sakral yang tumbuh dan menyatu di dinding gua, yang selama ini
diyakini sebagai media suci. Ia telah beberapa kali membawa orang lain untuk nangkil,
mengambil batu tersebut. Alasannya? Untuk dijadikan sarana penyembuhan
pasien-pasiennya. Tapi bisik-bisik warga menyebut, niatnya lebih condong pada
ambisi pribadi daripada pelayanan tulus.
Bahkan batu besar pun pernah ia angkut keluar dari gua itu, hanya demi
memenuhi permintaan seorang pasien. Ketamakan yang mulai melewati batas.
Malam itu, langit mendadak pekat. Awan hitam menggulung dan menyelimuti
area gua, meski hujan tak turun. Angin berhenti
bergerak, udara mati. Lalu, suara aneh mulai terdengar. Bukan dari luar, tapi
dari dalam pikiran Jero Sewa—melengking, bersautan, seperti jeritan atau
peringatan keras yang tak bisa diabaikan. Ia menutup telinga, tapi suara itu
tetap menggedor pikirannya.
Dari balik
patung naga dan ular, tampak bayangan-bayangan seperti makhluk, samar dan
bergerak cepat, memandangnya dengan amarah. Getaran tanah pelan namun
pasti mulai terasa. Jero Sewa menggigil, tubuhnya kaku, tak mampu bergerak. Ia
tahu, para penjaga dan darma pura murka. Ia telah melanggar batas.
Dengan sisa keberanian, ia bangkit dan berlari tunggang-langgang
meninggalkan pelataran gua. Persembahan yang ia bawa tertinggal begitu saja,
sementara dupa terus mengepul sendirian, seperti menertawakannya.
Sejak malam itu, Jero Sewa tak pernah lagi terlihat memedek ke Pura Gua
Gala Gala. Dan penduduk setempat percaya, siapa pun yang mencoba mengusik
tempat suci itu demi kepentingan pribadi, akan mengalami hal yang sama... atau
bahkan lebih buruk.
EPISODE 2: LINGLUNG DAN SAKIT
Sejak malam
Buda Wage itu, hidup Jero Sewa tak lagi sama.
Pagi harinya,
warga Banjar dikejutkan oleh kabar: Jero Sewa ditemukan oleh seorang pemburu,
terduduk di bawah pohon pule tua diantara babmbu di pinggir sebuah bulakan,
tidak jauh dari rumahnya. Tubuhnya kotor berdebu, wajahnya pucat, mata kosong
memandang tanpa arah. Bibirnya komat-kamit seperti sedang berbicara dengan
sesuatu yang tak kasat mata.
"Tiang...
tiang nenten... tiang ten nyilih...," begitu katanya berulang-ulang.
Ia dibawa
pulang oleh keluarganya, namun sejak saat itu ia seperti bukan dirinya lagi.
Jero Sewa yang biasanya cerdas dan tenang, kini sering duduk termenung,
berbicara sendiri, tertawa-tawa lalu menangis tanpa sebab. Setiap malam, ia
menjerit saat tidur, menyebut-nyebut nama batu, gua, dan naga penjaga.
Parahnya lagi, tubuhnya mulai melemah. Beberapa bagian kulitnya
menghitam seperti terbakar, dan ia menolak makan. Upacara melukat telah
dilakukan oleh beberapa sulinggih, tapi setiap kali air suci menyentuh
tubuhnya, Jero Sewa justru menggigil hebat dan menangis seperti anak kecil.
Keluarganya ketakutan. Mereka lalu memanggil seorang tetua spiritual
dari Desa sebelah, dikenal sebagai Jero Dukuh Silako, seorang pemangku
sepuh yang sangat dihormati. Begitumelihat Jero Sewa, wajah Jero Dukuh langsung
berubah serius.
"Jerone
sampun ngelintangin wates," begitu tuduhnya. "Batu sane keambil ring
gua punika, punika boye batu biasa. Ida sane melinggih ring sajeroning gua
punika, menggah pisan." lanjutnya.
Jero Dukuh kemudian melakukan meed kecil di halaman rumah Jero Sewa.
Ia menancapkan sebuah tongkat kayu cendana ke tanah dan mulai membaca
mantra-mantra kuno. Asap dupa mengepul tebal, dan suara gamelan samar terdengar
dari kejauhan, padahal tak ada alat musik di sekitarnya.
Di tengah prosesi, tubuh Jero Sewa tiba-tiba kejang-kejang. Dari
mulutnya keluar suara berat, bukan suaranya sendiri:
"Batu sane kaambil punika, wantah awak ida... mulihang! MULIHANG!"
Suasana
mendadak mencekam. Semua yang hadir terdiam. Jero Dukuh hanya menunduk
dalam, lalu berkata pelan:
"Upacara ngewaliang duene musti kalaksanayang ring Gua Gala
Gala. Yen ten, jagi wenten korban selanturnyane."
Keluarga Jero Sewa pun sadar, mereka harus mengembalikan batu-batu itu
ke tempat asalnya. Tapi tidak mudah. Batu-batu tersebut sudah tersebar—beberapa
berada di rumah pasien Jero Sewa, ada yang sudah dibentuk menjadi sarana
pengobatan, bahkan ada yang disimpan dalam kotak besi di kamarnya.
Waktu tidak
banyak. Setiap malam, kondisi Jero Sewa memburuk. Dan konon, di malam-malam
tertentu, bayangan ular besar mulai terlihat mengelilingi rumahnya...
EPISODE 3: UPACARA PEMULANGAN BATU
Langit sore
mulai gelap, awan berat kembali menggantung di atas desa. Angin terasa dingin
dan kering, membawa bau dupa yang belum dibakar. Hari itu, keluarga Jero Sewa
memutuskan untuk melakukan upacara pemulangan batu ke Gua Gala Gala, seperti
yang diwasiatkan oleh Jero Dukuh Sila.
Namun, tak semua batu itu bisa ditemukan. Dari lima batu yang pernah
diambil, hanya tiga yang bisa dikumpulkan—dua lainnya sudah diberikan kepada
pasien dan tidak diketahui keberadaannya. Tetua desa memperingatkan bahwa tanpa
keseluruhan batu, ritual ini berisiko tidak sempurna… atau bahkan berbalik
membahayakan.
Tetap, mereka harus mencoba.
Menjelang tengah malam, rombongan kecil bergerak diam-diam menuju Gua
Gala Gala. Di antara mereka:
- Jero Dukuh Sila sebagai pemimpin ritual,
- dua pemangku desa,
- keluarga Jero Sewa yang membawa batu-batu
itu dalam wadah khusus,
- serta Jero Sewa sendiri, yang digotong di
atas usungan, tubuhnya lemah, wajahnya pucat pasi, namun matanya terus
bergerak liar seolah melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain.
Sesampainya di gua, suasana berubah drastis. Udara membeku. Sekali lagi,
dua patung penjaga—naga dan ular —terlihat menatap tajam ke arah mereka. Dupa
dinyalakan, kidung suci dilantunkan. Jero Dukuh mulai menggambar rerajahan di
tanah menggunakan air suci dan beras kuning. Batu-batu itu diletakkan di
hadapan mulut gua.
Tiba-tiba, Jero Sewa menggeliat keras, tubuhnya melengkung seperti
melawan sesuatu. Suara dari dalam dirinya
kembali terdengar—bergetar, berat, dan menyayat:
"Durung
jangkep... kalih batu malih... wenten ring kaler.. wenten ring kelod!"
Jero Dukuh
terdiam. Batu-batu itu memang tidak lengkap. Tapi ritual harus dilanjutkan.
Ia mulai
mengucap mantra pemulangan:
"Om
catur dewi maha dewi catur asrama
bhetari, Ida Betara Anta Bhoga ring Gua Gala Gala... titiang nglungsur
pangaksama. Ida sane kausak asik ring damuh ira, titiang matur suksma lan sida
ngewaliang prelinggan ida ring genah sane suci puniki."
Suara gamelan mistis kembali terdengar samar. Angin berputar di dalam gua, asap dupa melingkar
seperti ular. Batu-batu itu bergetar pelan... lalu diam.
Namun sekejap
kemudian, dari dalam gua terdengar raungan panjang. Tanah bergetar. Asap
berubah menjadi hitam pekat. Api kecil muncul di dasar gua, lalu padam. Salah
satu pemangku jatuh pingsan di tempat. Jero Dukuh berdiri dengan mata tajam,
lalu berteriak:
"Permas!
Ida sampun ngerauhin... durus melinggih ring awak Jero Sewa!"
Tubuh Jero Sewa
tiba-tiba melayang sebentar, lalu terjatuh. Saat matanya terbuka, bola
matanya berubah... tidak sepenuhnya manusia. Dari mulutnya keluar suara asing:
"hana watu... ring jaba pura... yen tan kewaliang, yen kita tan
wliang,pejah awaknia,apan dudu lampahnia ...kenak waliakna "
Sejenak sunyi. Ritual dihentikan. Jero Dukuh mengangkat tangan, memberi
isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu. Batu-batu yang berhasil
dikembalikan tetap ditinggal di pelataran gua, ditutup dengan kain putih dan
diperciki tirta.
Malam itu,
mereka pulang dengan tubuh utuh... tapi tidak dengan hati yang tenang.
Dan benar saja—keesokan harinya, seorang anak kecil di desa yang
disebut-sebut pernah ikut "dibekali" batu oleh orangtuanya, mendadak
jatuh sakit tanpa sebab.
EPISODE 4: BATU TERAKHIR DAN KORBAN PERTAMA
Pagi itu,
suasana rumah keluarga Wayan Raka mendadak berubah mencekam. Putra
bungsunya, Made Yoga, yang baru berusia tujuh tahun, jatuh sakit secara
misterius. Tubuhnya panas tinggi, namun anehnya, tidak berkeringat. Matanya
terus terbuka, menatap ke langit-langit, sementara bibirnya bergumam hal-hal
yang tidak dimengerti siapa pun.
"Ula agung...
nyusup ring jero tembok... ada api... gua... batu..." begitu ia berbisik
pelan, berulang-ulang.
Wayan Raka dan istrinya panik. Mereka segera memanggil balian, lalu
bidan, namun tidak ada yang bisa menjelaskan kondisi anak itu. Hingga akhirnya,
seorang tetua desa menyarankan:
“Tiang rasa, ada hubungan dengan batu itu… keluarga nyidang ngajak ke
Jero Dukuh Sila.”
Sore itu,
mereka datang ke griya Jero Dukuh dengan wajah memelas. Setelah mendengar
cerita lengkap, Jero Dukuh langsung tahu: batu terakhir—yang telah
mereka terima dari Jero Sewa beberapa bulan lalu sebagai “sarana
perlindungan”—masih ada di altar kecil mereka. Tanpa sadar, mereka telah
menjadi bagian dari pelanggaran besar.
Jero Dukuh
berkata dengan tegas,
“Made Yoga masih bisa diselamatkan. Tapi keluarga harus matur guru
piduka langsung di hadapan Pura Gua Gala Gala, dan batu itu harus
dikembalikan malam ini juga.”
Wayan Raka pun tak menunda. Menjelang malam, ia, istrinya, dan anak
mereka yang digendong lemah, menuju Pura Gua Gala Gala bersama Jero Dukuh dan
dua pemangku. Batu kecil itu dibungkus dengan kain putih dan
dibawa dalam bokor dengan canang dan tirta suci.
Di pelataran pura, lilin dan dupa dinyalakan. Di hadapan dua patung
penjaga gua yang kini tampak lebih hidup dari sebelumnya, keluarga Made
bersujud, menangis, dan memohon ampun:
“Ida sesuhunan sane meraga suci, titiang nenten presida nyanggra dosa
sane kasurat ring jagat niskala puniki. Titiang ngaturang guru piduka nunas
pengampura. Tityang ngelungsur mangda pyanak titiang prasida waras nutugang
tuwuh mewali kadi jati mula.”
Suara lembut
seperti desir angin tiba-tiba muncul dari dalam gua. Tidak ada lagi raungan.
Tidak ada suara melengking. Hanya sunyi... dan harum bunga cempaka putih yang
mendadak menyebar di udara.
Batu itu
tiba-tiba terasa berat di tangan Wayan Raka, lalu ringan kembali—seolah ada
sesuatu yang diambil dari dalamnya.
Made Yoga, yang tadi lemas dan pucat, perlahan membuka mata. Ia menatap ibunya dan berbisik,
“Bu… ular
nagane sudah pergi…”
Semua yang
hadir bersyukur. Upacara matur guru piduka telah diterima. Satu jiwa diselamatkan.
Namun sebelum mereka pergi, Jero Dukuh berdiri menghadap ke arah gua,
dan berkata dengan lantang:
“Titiang ngaturang pangaksama sane pinih utama. Ring jagat sane suci
puniki, sampun wenten sane ngemit. Nenten dados malih ngusak asik ngambil duen
ida iriki,ila ila dahat yen purun kadi asapunika.”
Dan sejak malam itu, tak ada lagi yang berani mengambil batu dari Gua
Gala Gala. Pura itu kembali hening... tapi semua warga tahu, hening bukan
berarti kosong.
EPISODE 5: TOBAT DAN KEHENINGAN BARU
Hari-hari
berlalu. Setelah upacara pemulangan batu terakhir dan permohonan guru piduka,
perlahan kondisi Jero Sewa mulai membaik. Tubuhnya yang sebelumnya kurus
dan lemah, mulai terisi kembali. Tatapannya yang dulunya kosong dan dihantui,
kini terlihat tenang, meskipun masih menyimpan bekas rasa bersalah yang dalam.
Ia banyak
berdiam diri, tak lagi memamerkan “kemampuannya” seperti dulu. Tak lagi menerima pasien,
tak lagi memaksa orang untuk ikut nangkil ke gua suci itu. Bahkan ia
mulai menjauh dari urusan spiritual—bukan karena membenci, tapi karena sadar: ia
telah melewati batas yang tak seharusnya dilanggar.
"Tiang sadar, tiang ten penyungsung pura punika... nenten pernah
ikut ngayah, apalagi mabangun. Napi malih nganggen punika demi ajengan sareng
gengsi... puniki salah tiang sane paling ageng,” katanya suatu hari di balai
banjar, di hadapan para pemangku dan tetua desa.
Ia bertobat. Dengan tulus.Warga pun mulai memahami, dan secara perlahan
memaafkan. Tapi sejak saat itu, Gua Gala Gala dijaga lebih ketat. Tidak
ada lagi orang sembarangan masuk. Sebuah pelinggih baru dibangun di pelataran,
dan 5 pancuran yang disebut beliau Panca Amertha untuk melukat dibuat
dari sumber mata air pesucian Ida Bhetara Besakih—air yang dipercaya bisa
menyucikan raga dan pikiran.Kini sudah mulai banyak orang yang nangkil terutama
nangkilang Dewa Hyang untuk disucikan sebelum ke pura Dalem Puri.
Namun semuanya harus sesuai aturan. Siapa pun yang ingin ke sana, harus
minta izin pada pemangku, membawa persembahan yang layak, dan terutama: niat
yang tulus, bukan ambisi pribadi.
Batu bertuah?
Abu hitam sakral? Ya, itu masih ada di dalam gua. Tapi sekarang, tak seorang pun berani
menyentuhnya tanpa restu. Mereka sadar, tempat suci bukan ladang untuk
kepentingan pribadi.
Kini, Gua Gala Gala menjadi tempat suci yang hidup, bukan karena ramai
atau mewah, tapi karena dijaga dengan hati-hati dan dihormati dengan tulus.
Dan Jero Sewa? Ia memilih tinggal di rumah sederhana disebelah pohon
bambu, hidup sederhana bersama anak istrinya, dan ia bertobat dan rasa terima
kasih karena diberi kesempatan kedua.
Akhir Cerita
Semoga kita semua bisa belajar, bahwa tempat suci adalah warisan leluhur
yang harus dijaga, bukan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi mencari nafkah
dan ingat jangan pernah mengambil apa yang bukan hak kita dari tempat suci.
Semoga semua rahayu. Om Santih Santih Santih Om.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar